Monday, January 18, 2010

Penyelamat Kucing

Azka melambaikan tangan pada beberapa temannya. Mereka berpisah di perempatan Jalan Kusumabangsa. Teman-teman Azka mengambil jalan sebelah kiri, Azka berbelok ke kanan. Rumah Azka ada si sebelah kanan jalan. Tepatnya satu kilometer dari perempatan. Azka berjalan santai. Ia sedikit merapat ke teras-teras pertokoan agar bisa turut menikmati keteduhannya. Siang itu matahari memang bersinar sangat terik.  Seragam sekolah Azka sedikit basah oleh keringat. Beberapa pemilik toko menyapa gadis itu, mereka sudah akrab dengan  Azka yang selalu lewat di jalan itu setiap pulang sekolah.
"Baru pulang Az ?" sapa Bu Teti pemilik toko jilbab dan baju muslim ramah.
"Iya bu." Azka berhenti sebentar untuk sekedar melempar senyum. Azka kembali berjalan. Di sepanjang jalan kusuma bangsa banyak orang yang berdagang. Mereka membuka warung, toko, tempat fotokopi, wartel dan sebagainya. Dari sekian banyak tempat berdagang di sepanjang jalan itu, ada satu tempat yang baru dibuka. Rumah makan ikan bakar Nikmat Dan Lezat !
 Azka mendengar suara ribut saat hendak melewati rumah makan Nikmat dan Lezat.
Pergi kau ! Awas kalau kesini lagi…!" seseorang berteriak sangat keras. KLOTHAK, KLONTANG…DUKK ! Sebatang kayu melayang keluar dari dalam toko, bersamaan dengan seekor kucing yang lari terbirit-birit.  Kayu itu menghantam tong sampah. Lalu memantul kembali  hingga mengenai kepala  kucing itu. Seorang laki-laki gemuk keluar dari rumah makan dengan wajah marah. Ia mengacungkan kayu ke arah kucing hitam itu sambil bersumpah serapah. Kucing hitam sudah sempoyongan akibat kayu yang mengenai kepalanya. Tapi  Laki-laki itu belum puas. Ia melempar lagi dengan sekuat tenaga. WINGGG…DUKK ! Meong ! kucing hitam terpelanting terdorong oleh kekuatan lemparan yang dasyat. Kucing hitam  berjalan terpincang- pincang, rupanya kakinya yang terkena kali ini. Laki-laki itu menyeringai puas. Ia masuk kembali ke rumah makan Nikmat dan lezat.
Azka berdiri terpaku. Badannya gemetar  menyaksikan peristiwa di depan matanya itu. Beberapa orang yang juga menyaksikan kejadian itu tak terlau peduli. Mereka segera berlalu dan kembali melanjutkan aktivitas masing-masing.
"Meong, meong, meong." Sayup-sayup Azka  mendengar suara erangan yang memilukan. "Oh kucing yang malang dimana kau ?" Azka segera mencari sumber suara. Ia mencari di balik tong sampah, di bawah selokan sampai pot-pot  yang berjajar di depan toko. "Tidak ada ! Di mana dia ya ?" Azka berputar-putar di sekitar tempat itu. Ia tak menyadari sepasang mata laki-laki gemuk pemilik rumah makan Nikmat lezat terus mengawasinya. Azka gagal menemukan kucing yang malang itu. Dengan kecewa Azka meninggalkan tempat itu. Tapi ketika ia sampai di dekat tong sampah depan kios jamu, Azka menemukan seekor kucing hitam meringkuk di baliknya.
"Oh kau di sini rupanya. Aku sudah mencarimu kemana-mana."pekik Azka lega.
"Meong."
"Kau pasti kesakitan ya. Sini kuperiksa." Azka mendekap kucing itu. Ia mendapati luka tepat di dekat telinga dan di daerah kaki.
"Kasihan sekali kau. Jangan kuatir aku akan mengobatimu. Sekarang ki…"
"Hey !" Azka terkejut. Seseorang menegurnya dengan kasar. Namun Azka  mencoba untuk tenang ketika ia mengetahui orang itu adalah laki-laki pemilik restoran nikmat dan lezat.
"Jadi itu kucingmu. Bawa jauh-jauh dari sini.  Kucingmu itu nakal sekali, mencuri kepala  ikan guramiku."
"Ya Pak. Baik Pak." Meski berusaha tetap tenang, Azka merasa gugup juga, melihat mata laki-laki itu memerah.
"Yuk kita pergi." Azka menggendong kucing hitam itu lalu cepat berlalu dari tempat itu.  Kucing itu terus menerus mengerang. Meski Azka membelai bulunya berulangkali kucing itu tetap saja mengerang. Luka di tubuhnya pastilah sangat membuatnya kesakitan.
"Bertahanlah. Aku akan mengobatimu setiba di rumah."
Rumah Azka tinggal beberapa puluh meter lagi. Semakin mendekati rumahnya, hati Azka makin bingung dan cemas.
"Bagaimana aku menghadapi ibu nanti ?" batinnya cemas.
Ibu terkejut saat membuka pintu. Azka tersenyum kecut. Ibu menatap tajam kucing kampung yang digendong Azka. Kucing itu serta merta berhenti mengerang. Kepalanya dibenamkannya di lengan Azka.
"Azka kenapa kau membawa kucing lagi ke rumah ? Bukankah ibu sudah melarangmu."
"Maafkan aku Bu. Tapi Kucing ini terluka." Jawab Azka gugup.
"Lalu ?"
"Aku akan mengobati lukanya." Azla tertunduk. Ia tak berani menatap mata ibu. Ia memang telah berjanji sebelumnya pada ibu untuk tidak lagi membawa kucing ke rumah. Dulu ibu tak keberatan dengan adanya seekor kucing di rumah. Tapi lama kelamaan kucing yang dibawa Azka makin banyak jumlahnya. Azka adalah seorang anak yang sangat sayang pada binatang, terutama kucing. Ia tak pernah menolak kucing pemberian temannya, ia juga tak pernah keberatan memungut seekor kucing liar yang kelaparan di jalan. Ibu mulai terganggu dengan kehadiran kucing-kucing yang banyak itu. Kucing-kucing itu suka kencing atau membuang kotoran di sembarang tempat. Ibu jadi jengkel di buatnya. Kejengkelan ibu makin bertambah saat seekor kucing belang memecahkan pot bunga kesayangan ibu.
"Mulai sekarang, tidak boleh ada kucing di rumah ini Azka." Tegas ibu.
Ibu memberi waktu semalam pada kucing kampung untuk tinggal di dalam rumah. Azka memanfaatkan waktu yang pendek itu untuk mengobati luka kucing itu. Luka itu dibubuhinya dengan obat yang biasa dipakai ibu untuk mengobati luka lecet. Luka di kepala dan kaki kucing itu ternyata cukup parah. Lukanya lebar. Saat malam tiba, karena ibu tidka memperbolehkan  kucing itu tidur didalam kamar Azka, Azka membawanya pojok garasi yang hangat. Hurairah, demikian Azka kemudian memberi nama kucing itu.
Biasanya Azka sangat senang menyambut datangnya pagi, tapi hari ini ia sangat resah ketika malam berganti dengan pagi. Itu berarti waktu yang diberikan ibu pada Hurarirah  itu untuk tinggal di dalam rumah telah habis. Syukurlah hari itu adalah hari Minggu. Azka memiliki banyak waktu untuk mencarikan rumah baru bagi Hurairah.
"baiklah Huairah, sekarang saatnya mencari rumah untukmu."
"Meong." Kucing itu megeong seolah mengerti maksud perkataan Azka.
Setelah berpikir cukup lama, Azka memilih meminta tolong pada Desi temannya. Dulu Desi pernah menitipkan kucingnya ke rumah Azka.
"Assalamu'alaikum"
"Wa alaikum salam. Hey Azka ada perlu apa ?" Desi memandangi kucing kampung  dekil itu dalam gendongan Azka.
"Des, maukah kau menolong Hurairah. Kucing ini tidak punya rumah. Bolehkah ia tinggal di rumahmu sampai lukanya sembuh ?" tanya Azka.   Desi tidak perlu berpikir lama untuk menanggapi permintaan Azka. Sejak pertama kali melihat  Hurairah kucing ksmpung itu, Desi sudak tidak suka. Siapa yang suka pada kucing dekil.
"Maaf  ya Azka. Yang boleh tinggal di rumahku cuma si Puntir." Desi meyebut nama kucing anggoranya yang memang cantik karena selalu dibawa ke dokter hewan dan salon setiap bulan."
"Tapi Hurairah terluka Des." Azka mencoba membujuk Desi.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan kucing kampung seperti itu Az. Kucing jalanan itu nakal suka mencuri, suka berkelahi dengan temannya terus luka kena cakar. Biarkan saja nanti kan sembuh sendiri." Mendengar jawaban Desi, Azka jadi kecewa.
"Des, apakah kamu  pernah terluka yang cukup parah ?"
"Ya tentu saja."
"Apakah lukamu itu bisa sembuh tanpa diobati ?"
Azka segera berlalu. Ditinggalkannya Desi  yang termangu.

Thursday, January 14, 2010

Pahlawan Sebatang Pohon

Kata Ayah tanaman itu tumbuh bersama Adi. Ayah menanamnya hanya beberapa saat setelah Adi lahir. Waktu Adi berumur 3 tahun, ayah mengajarinya menyiram dan memupuk tanaman itu. Lama kelamaan Adi bisa melakukannya sendiri, tak perlu ditemani apalagi dibantu.
Berkat perawatan yang baik, tanaman itu tumbuh dengan subur. Dari awalnya yang hanya setinggi betis ayah, menjelma menjadi sebatang pohon jambu biji yang besar. Tinggi pohon itu kini bahkan melebihi ayah. Pohon itu sudah berbuah beberapa kali. Tidak hanya adi dan keluarga yang menikmati buahnya, para tetangga juga. Pohon itu juga memiliki cabang yang banyak dan daun yang rimbun. Siapapun yang berteduh di bawahnya pasti merasa nyaman.
Penjual makanan, penjaja minuman, tukang bakso, penjual Siomay, sering memanfaatkan pohon itu sebagai tempat berteduh bila terik matahari menyerang bumi.
Adi teringat pada pohon jambu bijinya saat Pak Bangkit sedang bercerita tentang bencana alam dan banjir. Sebagian murid menyimak dengan baik, sebagian lagi terkantuk-kantuk. Pelajaran Pak Hamid memang terletak di akhir waktu sekolah. Beberapa saat lagi bel pulang sekolah akan berbunyi.
"Mengapa bencana alam dan banjir makin sering terjadi Pak ?" tanya Lala.
"Karena manusia makin gencar merusak alam. Bisa beri contoh kerusakan yang dilakukan manusia ?" Pak Bangkit menunjuk Pepeng yang kepalanya beberapa kali hampir terantuk meja karena mengantuk. Pepeng bengong. Beni jahil yang duduk disampingnya segera membisikinya.
"Eh itu Pak merusak jalan-jalan Pak. Sekarang banyak jalan yang berlubang." Jawab Pepeng menirukan Beni. Anak-anak tertawa. Pak Bangkit  geleng-geleng kepala, kemudian menyuruh Beni membetulkan jawaban Pepeng.
"Membuang sampah di sungai Pak."kata Beni. Pepeng melotot, ia marah pada Beni yang menjahilinya.  kantuknya hilang seketika..
"Penggundulan hutan, penebangan pohon adalah contoh yang lain. Hal ini tidak boleh kita biarkan, Inilah saatnya bagi kita untuk menjadi pahlawan bagi sebastang pohon
"Pahlawan sebatang pohon ?" Adi memikirkan kata-kata Pak Bangkit. Tapi tepukan keras Doni mengejutkannya.
"Di jangan lupa. Pulang sekolah kita menjenguk Saleh."
"Iya aku tidak lupa."
Pulang sekolah, Adi dan beberapa anak lainnya pergi menjenguk Saleh. Untuk sampai di rumah Saleh, anak-anak harus melalui jalan sempit dan berliku-liku.  Hanya para pejalan kaki dan pengendara sepeda motor yang bisa melewatinya. Saleh pernah bercerita kalau rumahnya berada di pinggir sungai. Di hadapan teman-temannya Saleh selalu membanggakan sungainya itu. Dan ketika sampai di depan rumah Saleh, Adi dan teman-temannya baru tahu kalau sungai kebanggaan Saleh adalah sebuah sungai yang kotor dan keruh.
Ibu Saleh membuka pintu. Anak-anak di persilakan duduk di ruang tamu rumah yang sempit. Saleh muncul tak lama kemudian. Wajahnya pucat dan badannya lemas
"Kau sakit apa Saleh  ?" tanya Rudi ketua kelas.
"Sakit perut." Jawab Saleh sambil memegangi perutnya yang masih terasa sakit.
"Sudah minum obat belum ?" tanya Doni.
"Sudah tapi diarenya belum sembuh juga." Jawab Saleh lemas. Adi terbelalak. Ia teringat sesuatu. "Jadi kamu diare ya ? Sudah coba minum rebusa air jambu biji atau belum ?"  Saleh menoleh pada ibunya. Ibu tua itu yang kemudian menjawab. "Apa benar begitu."
"Insya Allah Bu. Dulu saya terserang diare. Alhamdulillah segera sembuh setelah meminum air rebusan daun jambu biji."
"Tapi di sini sulit sekali mendapatkan daun jambu biji Nak."
"Kalau soal itu aku bisa membantu. Dihalaman rumahku ada pohon jambu biji. Insya alllah saya akan memetiknya untuk Saleh."
 "Oh terima kasih Nak."
Siang ini Adi  akan memetik beberapa helai daun jambu biji sesuai janjinya pada Saleh dan ibunya.  Adi menuju halaman rumahnya sambil membawa kantung plastik yang disiapkan ibu.
"Pilih yang segar Di. Ambil yang banyak untuk persediaan temanmu." Pesan ibu. Ibu sangat senang melihat Adi sangat bersemangat membantu temannya. Itulah sebanya ibu tak keberatan Adi melewatkan waktu tidur siangnya.
 Adi tersenyum memandang sebatang pohon jambu biji di halaman. Pohon itu meliuk-liuk ditiup angin. Daunnya melambai-lambai seolah memanggil Adi untuk mendekat. Daun -daun kering berjatuhan. Sebagian jatuh di atas sebuah batu yang teronggok tepat di bawah pohon. Di atas batu itulah Adi suka duduk di atasnya sambil menikmati rindangnya pohon jambu biji. Adi suka pula memanjat pohon itu. Di atas pohon Adi  memetik buah yang matang atau bermain-dengan mobil mainannya yang ia jepitkan di antara ranting-ranting pohon.
"Hai pohon apa kabarmu. Semoga kau baik-baik saja ya."Adi berkata dengan riang. Setelah itu ia segera memanjat pohon lalu memetiki daun jambu yang segar.Adi memenuhi kantung plastiknya dengan daun-daun jambu dan dua buah jambu biji yang matang. Jambu biji itu akan ia persembahkan pada Saleh dan bunya.
Adi mengambil mobil-mobilan yang tejepit di dahan pohon. Ia bermain-main sebentar. Saat akan turun dari pohon Adi men dengar suara gaduh RRRT RRRT RRRT…
Ai melompat turun. Di bawah pohon sudah ada  Pak Karim penjual es dawet yang berteduh sambil beristirahat. Pak Karim berulangkali menyeka keringatnya yang berleleran.
"Bapak numpang berteduh ya Nak. Panas sekali siang ini." Kata Pak Karim.
"Silakan Pak."jawab Adi dengan sopan. Adi kemudian bertanya tentang bunyi berisisk yang tadi didengarnya.
"Oh itu suara gergaji listrik. Beberapa orang sedang menebangi pohon di ujung jalan sana."
"Astaghfirullah. Untuk apa pohon-pohon itu ditebangi Pak ?"
"Kata orang sih, jalan ini mau diperlebar." Penjelasan Pak Karim membuat Adi cemas. Ia memandang pohon jambu bijinya sambil berharap tak kan ada hal buruk yang menimpa pohon kesayangannya itu.
Berkat pertolongan Allah, Saleh sembuh dari sakit Diare setelah minum rebusan daun jambu biji. Kabar baik itu datang bersamaan dengan datangnya sebuah kabar buruk bagi Adi.  Dua hari lagi pohon jambu biji di halaman depan rumah akan di tebang !