Thursday, September 29, 2011

Donat dan Buku Matematika

Boma berlari menuju kelas 3C. Ia harus secepatnya tiba di sana menemui Manik temannya. Saat itu adalah saat pergantian jam pelajaran. Suasana kelsa sedikitgaduh menunggu guru yang akan mengajar pelajaran selanjutnya. Anak-anak kelas 3 C memandang seorang anak berambut keriting yang masuk kelas mereka dengan terburu-buru. Boma malu, ia berusaha menghindar dari tatapan anak-anak di sekelilingnya. Ia segera menuju bangku kedua dari deretan depan. Manik duduk di tempat itu bersama Gugun teman sebangkunya.
"Manik, pinjam buku matematikanya ya."  Boma berbisik pada Manik. Ia tak ingin perkataannnya didengar oleh Gugun atau anak-anak di sekitar mereka. Namun Gugun tak perlu mendengar perkataan Boma untuk mengetahui keperluan Boma datang ke kelas mereka. Anak itu sudah dapat menebak.
"Huh pinjam melulu beli dong." Serunya saat Manik menyerahkan buku matematika pada Boma.
"Nanti pulang sekolah segera kembalikan ya Bom, soalnnya besok aku ada ulangan matematika. Jadi nanti sore mesti belajar." Pesan Manik.
"Insya Allah, secepatnya aku kembalikan. Sekarang aku kembali ke kelasku dulu Ya. Terima kasih. Assalamu'alaikum."
"Waalakum salam."
Boma  meninggalkan bangku Manik. Ia tak menoleh ke arah Gugun. Ia tak ingin seperti hari Senin yang lalu. Gugun meleletkan lidah kearahnya.
Dengan napas terengah-engah Gugun masuk ke kelasya. Ia beruntung Pak April guru matematika belum datang ke ruangan kelas 3A.  Boma segera menuju tempat duduknya. Ia segera membuka buku matematika yang baru saja dipinjamnya dari Manik anak kelas 3 C.
Manik memang teman Boma yang baik.  Ia selalu  memberi pertolongan pada Boma. Bagi manik mereka memiliki hati seputih salju. Ia tak pernah keberatan bila Boma bermaksud meminjam sesuatu. Sebulan lalu saat Boma harus menunggu ayah memiliki uang lebih untuk membeli buku pelajaran Bahasa Indonesia semester genap. Boma terpaksa meminjam buku Manik Hari Senin, saat di kelas Manik sedang tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia. Buku itu ia kembalikan segera saat pulang sekolah. Hari Rabu Boma meminjam buku lagi, demikian juga hari Jumat, Boma menanti Manik di pintu kelas 3 C untuk meminjam buku. Untung saja ia dan Manik duduk di kelas yang berbeda sehingga jadual pelajaran mereka berbeda.
Suatu ketika Ayah pulang bekerja sambil menenteng sesuatu. Boma merasa sangat senang saat ia mengetahui ayah telah membeli buku bahasa indonesia untuknya. Ia bersyukur pada Allah yang telah menolong ayah hingga mampu membelikan sesuatau yang sangat dibutuhkannya.
Ia pikir masalahnya telah berakhir, namun ketika Pak April mengumumkan bahwa buku matematika baru mesti di beli, Boma merasa lemas.
"Ayah belum bisa membelikan buku yang baru sekarang Nak. Tunggulah bulan depan ya." Kata Ayah saat Boma mengutarakan perinah Pak April. Meskipun sudah menduganya, tetap saja Boma merasa sedih.
"Tapi ayah kata Pak April semua murid harus segera memilikinya. Karena nanti akan banyak tugas dan PR." Lanjut Boma.
"Pinjamlah dulu pada temanmu ya Nak." Jawab Ayah. Dibelainya kepala Boma. Boma tertunduk. I tak tega menatap wajah tua ayahnya. Wajah yang selalu menampakkan rasa bersalah yang dalam, sebab tak mampu memenuhi kebutuhan sekolah Boma dengan baik.
Boma memang harus sabar menunggu. Ia tak mungkin memaksa ayahnya untuk membelikannya buku matematika sekarang juga. Jangankan buku matematika untuk membeli sebatang pensilpun, Boma tak boleh terburu-buru.. Ayah Boma adalah seorang penarik becak. Penghasilannya tidak menentu. Bila mendapat penghasilan yang lebih, ayah mengutamakan membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya bagi Boma dan kedua adiknya.
Boma merasa sangat malu. Ini adalah kali ketiga ia meminjam buku matematika milik Manik. Hari ini pelajaran pertama di kelas 3A adalah matematika. Itulah sebabnya Boma sengaja datang lebih awal agar bisa menemui Manik di gerbang sekolah.
Boma  berdiri di samping pintu gerbang sekolah. Pagi ini tempat itu sangat ramai karena murid-murid mulai berdatangan. Boma membuka matanya lebar-lebar. Ia tak ingin matanya melewatkan kedatangan Manik. Manik biasanya diantar oleh ayahnya. Setiap ada mobil yang berhenti di jalan depan pintu gerbang Boma tak melewatkannya. Boma masih ingat mobil Manik berwarna putih bersih. Boma tak hapal jenis mobilnya. Yang ia tahu bentuknya mirip taksi. Tapi tentu saja bukan taksi lho. Boma hampir terkecoh. Ternyata banyak mobil orang tua murid yang mirip mirip.
"Yang ini insya allah benar." Harap Boma saat sebuah mobil 'taksi' berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Seorang anak laki-laki yang sangat dikenal Boma turun dari mobil.
"Manik !" Boma melambai. Ia berlari mendekati Boma. Meski waktu masuk sekolah masih 30 menit lagi. Boma ingin secepatnya meminjam buku itu. Ia tak ingin seperti hari Kamis yang lalu. Ia datang ke kelas Manik hanya beberapa saat sebelum pelajaran di mulai. Akibatnya Boma terlambat masuk kelasnya dan ditegur pak April. Raut wajah Manik tak seperti biasanya.  Di bibirnya tak ada senyum sedikitpun. Kelihatannya ia tak  tak begitu berharap bertemu  Boma. Sayang sekali manik tak memperhatikannya.
"Manik, pinjam buku Matnya ya. Nanti aku kembalikan." Ujar Boma. Manik diam. Ia memegang erat tasnya. Melihat hal itu Boma mengeraskan suaranya. Ia mengira Manik tak mendengarnya karena suasana di sekitar mereka yang bising.
"Emh…gimana ya Bom. Nanti aku ada test. Aku ingin belajar dulu sebentar sebelum pelajaran dimulai."
Boma terperangah. Ia sama sekali tak menduga Boma akan menolak permintaannya kali ini. Boma jadi salah tingkah. "Oh eh jadi begitu ya…"
"Iya maaf ya."
Cuma sebentar saja Please…! Boma sangat ingin mengatakannya tapi kata-kata itu cuma tertahan di mulutnya. Manik merasa bersalah. Ia buru-buru menawarkan sesuatu pada Boma. "Bagaimana kalau kita belajar bersama di rumahku." Katanya. Tapi buru-buru ia menambahi lagi. "Oh iya iya aku lupa rumah kita berjauhan jadi seperti agak sulit ya."
Boma mengangguk. Ide untuk belajar bersama sebenarnya sudah ada sejak lama. Tapi rumahnya sangat jauh dari rumah Manik.
"Baiklah manik, sekarang aku kembali kekelas dulu ya." Boma meninggalkan manik dengan lesu. Baru beberapa langkah Manik segera menyusulnya.
"Boma aku ingat sesuatu. Aku tahu sebuah toko buku yang sangat murah."
"Dimana ?" tanya Boma penuh harap.
"Di jalan Martadinata. Letaknya di ujung jalan. Kau datanglah kesana. Barangkali saja kau bisa mendapat potongan harga yang cukup besar."
Potongan harga yang besar ? Apakah dengan potongan yang besar itu ayah jadi sanggup membelinya. Manik tak begitu yakin.
"Boma, cobalah saranku. Menurutku kau harus segera punya buku matematika. Bukannya aku tak mau meminjamkannya lagi tapi…kau tidak akan bisa belajar jika tak punya buku." Suara Manik terdengar tulus. Dan kata-kata Manik itu diam-diam Boma membenarkannya.
Toko buku Murah dan Bermutu. Papan nama itu terpampang di sebuah toko. Boma langsung yakin bahwa tempat itulah yang di maksud oleh Manik. Ciri-cirinya persis seperti yang disebutkan Manik. Tokonya tidak terlalu besar. Menghadap ke arah timur. Di samping toko ada pohon yang cukup besar. Dan penjaga toko sekaligus pemiliknya adalah seorang laki-laki bertubuh gemuk.
Boma masuk ke dalam toko. Beberapa orang tampak membuka-buka buku yang dipajang di rak-rak toko. Boma langsung mencari rak tempat memajang buku pelajaran anak SD. Ia belum menemukannya juga setelah beberapa lama. Ia malah bertemu dengan pemilik toko yang dimaksud Manik. Kalau tak melihat sendiri Boma tak akan percaya dengan cerita Manik. Manik bilang kalau disamping bapak gengut pemilik toko selalu ada sekotak kue yang memiliki lubang di tengahnya. Kue bolong ?Apalagi kalau bukan kue Donat.
Boma tersenyum saat Bapak gendut itu sambil membaca buku, memasukkan sebuah Donat ke dalam mulutnya. Kue itu sekejap saja sudah menghuni mulutnya. Belum selesai mulutnya mengunyah sebuah donat yang lain segera menyusul.
"Hemm..bapak itu pasti nggak baca bismillah." Gumam Boma. 
Boma rupanya tak memperhatikan dengan teliti. Ternyata rak yang dicarinya berada dekat pintu masuk.
"Alhamdulillah. Ini dia bukunya." Boma sangat senang telah menemukannya. Ia tak sabar membalik buku itu untuk melihat label harga. Senyum Bona seketika pudar kala melihat harga buku itu masih terlalu mahal baginya.
"Dua puluh satu ribu rupiah." Gumamnya lesu. Ia hampir saja menyalahkan Manik yang menurutnya telah berbohong. Tapi Boma segera ingat saat teman-teman membicarakan harga buku itu. Lisa, Toni , Diah Susan dan teman-teman lainnya rata-rata membeli buku itu seharga dua puluh empat ribu rupiah.
"eang lebih murah sih, tapi tetap saja terlalu mahal untukku." Desahnya.
Boma tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.  Buku itu masih digenggamnya. Ia merasa enggan menaruhnya kembali ke dalam rak. Boma masih berdiri di depan rak buku. Pandangannya tertuju pada seorang anak seusianya yang sejak ia masuk pertama kali hingga sekarang masih berada di tempat yang sama. Anak itu tampak sedang membaca komik. Dari sikapnya yang serius, dan jari-jarinya yang terus membolak-bolak halaman buku, Boma  menduga anak itu akan membaca komik itu sampai selesai.
"Hey kenapa tidak !. "Boma tiba-tiba mendapat ide.
"Sebelum ayah mampu membelikanku buku matematika, aku akan datang kesini untuk membaca dan belajar. Yah benar !"  Mata Boma berbinar-binar. Dilihatnya anak pembaca komik itu. Anak itu hampir menamatkan halaman terakhir.
Keesokan harinya, mulailah Boma menjalankan rencananya. Saat pulang sekolah ia menyempatkan diri datang ke toko buku Murah dan Bermutu. Jarak antara sekolah dan toko itu sebenarnya cukup jauh, tapi demi sebuah buku matematika ia rela menempuh jarak yang jauh meski hanya  dengan berjalan kaki. Meski sangat melelahkan, Boma tak mau menyerah. Ia punya cara supaya tetap semangat.
"Ayo Boma bertahanlah. Kita  segera sampai !
"Ayo Boma bertahanlah. Kita  baca buku matematika."
"Ayo Boma bertahanlah. Daripada kena marah Pak April nanti."
Sambil berjalan, Boma terus bergumam.
Beberapa hari  rencana Boma berjalan lancar. Pengunjung toko buku itu cukup ramai. Boma yang selalu membaca buku sambil jongkok, mesti beberapa kali bergeser bila ada pengunjung yang lewat di dekatnya. Boma tak mau menganggu pengunjung lainnya, apalagi ia cuma numpang membaca di situ. Letak meja kasir agak masuk ke dalam. Pak Gendut tak bisa melihat aksi Boma dari meja kasir, demikian pula sebaliknya.  Sambil jongkok, Boma tak cuma membaca ia  juga Boma mencatat soal-soal PR. Di tengah mencatat ia suka menghetakkan kakinya yang pegal dan kesemutan, akibat jongkok terlalu lama.
Saat siang di hari Rabu. Pulang sekolah Boma langsung menuju ke toko buku Murah dan bermutu. Hari ini Pak April memberi cukup banyak PR. PRnya bisa dilihat di halaman 30 buku matematika.
Boma berbaur dengan pengunjung lainnya. Ia meletakkan tasnya di rak-rak dekat pintu masuk.Meski tak ada aturan meletakkan tas seperti di toko buku lainnya, Boma meletakkan tas di rak dekat pintu. Rak itu tak ada yang menjaga. Boma merasa heran kenapa Pak Gendut tak mempunyai kartawan. Kelihatannya Pak Gendut megerjakan semua urusan sendiri.
Boma mengambil buku matematika dari rak yang biasa. Ia hendak jongkok saat seorang  menyapa. Anak pembaca komik.
"PSSsst…pssst." Anak itu menyapa Boma dengan mendesis. Sepertinya ia tak ingin orang lain mendengarnya.
"Hai." Jawab Boma.
"Aku mau baca komik. Kamu ?"
"Nih !" Boma menunjukkan buku matematika. "Aku mau mencatat, ada PR."
"Hati-hati jangan sampai ketahuan mencatat. Nanti dimarahi yang punya toko ini." Anak itu mengatakan sambil berbisik. Boma mengernyit.
"Memangnya tidak boleh ya ?" tanya Boma bingung.
"Eh tentu saja. Kamu harus beli. Ini kan toko buku bukan perpustakaan. Sudah ya aku pulang dulu."
"Sudah selesai ?"
"Sudah, aku sudah tamat I komik tadi. Minggu depan aku kesini lagi. Sampai ketemu." Anak pembaca komik pergi. Tapi kata-katanya masih terngiang di telinga Boma. Ia jadi ragu-ragu membuka buku itu. Tapi ia harus mencatat soal halaman 30.
"Hai apa yang kau lakukan !" suara itu menggelegar. Boma terkejut, pensil yang dipegangnya terlempar hingga ke dekat kaki Laki-laki gemuk pemilik toko yang telah berdiri di dekatnya. Boma panik, ia merasa sangat bersalah. Maka ketika bapak gendut itu membawanya ke meja kasir Boma menurut saja. Boma mematung di kursi depan kasir. Tak berani sekalipun  mendongakkan kepalanya.
"Tak boleh mencatat di sini. Kau tahu kan."
"Maafkan saya Pak." Suara Boma bergetar. Sambil menunduk sepatunya menggosok-gosok lantai yang berdebu.
Pemilik toko mendengus. "Apa yang kamu catat ?" suaranya sedikit melunak, membuat Boma berani mendongak sedikit." Buku matematika Pak. Hari ini saya punta PR. Saya terpaksa mencatat buku ini Pak karena saya tak punya buku matematika di rumah."
"baiklah, untuk kali ini saya maafkan. Tapi tak boleh diulang lagi. Sekarang kembalikan buku ini ketempatnya. Lalu kau cepat pulang." Boma tak mungkin membantah kata-kata laki-laki itu. Laki-laki itu sudah cukup baik mau memaafkannya. Boma merasa sayang meletakkan buku itu ke tempatnya. Apalagi ia belum selesai mencatat halaman 30. Tiba-tiba Boma kembali ke meja kasir. Laki-laki itu sangat terkejut melihat hal itu.
"Pak saya sangat membutuhkan buku ini. Tapi saya tak punya unag untuk membelinya."
"Kalau begitu kau harus mengembalikannya." Kata laki-laki itu. Boma tak beranjak dari tempatnya, saat ia mengatakan sesuatu yang pemilik toko itu makin terkejut.
"Bolehkah saya membantu bapak di toko ini. ?"
"Tidak, aku tidak memerlukan bantuan."
"Siapa bilang Pak. Lihatlah lantai toko ini kotor sekali. Buku-bukunya juga banyak yang berdebu. Saya akan menyapu lantai dan membersihkan buku-buku di sini asalkan saya boleh membaca buku matematika di sini." Kata Boma makin berani.
"Wah kau ini keras kepala. Tapi ..baiklah. Saya akan memberimu uang 3000 rupaih setiap kali memebersihkan tempat ini. Jadi…."
"Setelah tujuh hari aku bisa membeli buku ini ya Pak !" pekik Boma.
"Hmm…kau ternyata cukup pintar."
 Boma merasa sangat senang.  Ia sangat berterima kasih pada pemilik toko yang ternyata sangat baik hati.
Setiap pulang sekolah, Boma pergi ke toko Buku Murah dan bermutu. Ia melakukan pekerjaannya  dengan penuh semangat. Boma menyapu setiap jengkal lantai dengan bersih, melap buku-buku yang berdebu. Pekerjaan Boma membuat toko Murah dan bermutu menjadi lebih bersih dan indah. Ia tak ingin mengecewakan bapak yang baik hati itu. Pemilik toko yang baik itu bernama Pak Hamid. Pak Hamid ternyata seorang yang sangat taat beribadah. Setiap saat sholat dhuhur, beliau menutup tokonya lalu mengajak Boma sholat berjamaah di langgar seberang jalan. Boma merasa sangat senang. Setiap selesai sholat ia selalu berdoa dan bersyukur pada Allah.
Siang itu setelah mengganti baju seragamnya, Boma menyapu lantai dengan hati-hati. Ia tak ingin debu-debu terbang hingga membuat pembeli terbatuk-batuk. Tak terasa ia sudah menyelesaikan tugasnya hari itu, Tangannya gemetar saat Pak hamid mengulurkan uang tiga ribu tupiah padanya.
"Ini hari kelima Boma. Berarti dua hari lagi kau bisa membawa pulang buku matematika itu. "
"Tentu Pak."
"Simpan baik-baik jangan buat jajan ya."
"Insya Allah Pak."
"Sekarang kau boleh Pulang. Istirahatlah. Kau tetu lelah sekali." Seperti biasa Pak Hamid membekali Boma dengan sebungkus nasi dan segelas air mineral. Kebaikan Pak Hamid membuat Boma terharu.
Boma berjalan pulang dengan riang. Ia tak sabar ingin segera tiba di rumah dan memasukkan uang tiga ribu rupiah itu ke dalam celengan kaleng susu yang dibuatnya bersama ayah.
Lalu lintas sangat ramai saat itu. Suasana terasa tidak nyaman, apalagi matahari bersinar dengan  garang. Boma berteduh di bawah pohon di pinggir jalan. Ia ingin sejenak melepas lelah. Seorang ibu tua membawa keranjang plastik. Ibu itu menghampiri Boma.
"Beli kue donat Nak ? Murah hanya lima raus rupiah saja." Ibu tua membuka tutup keranjang. Bertumpuk-tumpuk kue donat tertata rapi di keranjang. Boma menggeleng, meski ia punya uang untuk membeli donat itu, ia tak ingin membelanjakannya selain untuk membeli buku matematika.
"Maaf Bu, masih kenyang." Jawab Boma memberi alasan. Ibu tua itu tak memaksa, meski jelas sekali wajahnya kecewa. Ibu itu beranjak meninggalkan Boma. Dibawanya kembali keranjang itu. Tiba-tiba Boma merasa iba.
"Bu, saya beli dua." Boma mengeluarkan uang seribu rupiah dari dalam saku bajunya. "Oh alhamdulillah Terima kasih ya Nak." Ibu itu segra memberi boma dua buah donatnya yang sudah tidak hangat lagi Sepeninggalk ibu itu Boma memandangi dua buah kue donat di kantuk plastik. Dengan membeli kue itu berarti ia tak bisa lagi membeli buku matematika dalam tujuh hari.
"Aku harus bekerja satu hari lagi pada Pak Hamid." Gumam Boma.
Boma hendak meneruskan perjalanan. Tiba-tiba ia kembali teringat sesuatu,
"Hei bukankah Pak hamid penggemar kue Donat. Biar kuberikan saja kue ini sebagai tanda terima kasihku padanya." Pikir Boma. "Tapi bagaimana kalau Pak Hamid marah karena aku membelanjakan uang ini untuk membeli donat ?" Ah biarlah, aku rela kok bekerja satu hari lagi pada pak hamid."
Tekad Boma sudah bulat ia berlari kembali ke toko. Toko sedang sepi. Melihat kedatangan Boma tentu saja Pak Hamid terkejut.
"Boma kenapa kembali lagi kemari ?"
"Eh anu Pak, Saya ingin memberikan kue ini pada bapak." Boma mengulurkan kantung plastik ditangannya. Pak Hamid sangat terkejut mengetahui isinya adalah dua buah kue donat.
"Bagaimana kau mendapat kue ini ?"
"Saya membelinya pak…dari uang yang bapak berikan pada saya."
"Kenapa kau membelinya ?"
"Saya kasihan pada ibu tua yang menjual kue itu Pak.
"Tapi dengan begitu kau tidak bisa membawa buku matematika itu dua hari lagi."
"Ah tidak apa pak. Saya rela bekerja sehari lagi pada Bapak. Bapak mau kan menerima kue ini. Saya tahu bapak senang kue donat."
Pak Hamid tersipu.
Boma beranjak meninggalkan toko Pak Hamid. Ketika sampai di pintu keluar, tiba-tiba Pak hamid memanggilnya.
"Nak, bawalah buku matematika itu pulang sekarang."
Boma sangat terkejut. "Tapi Pak…uang saya belum cukup untuk membelinya."
"Sudahlah,  anggap saja aku memberikannya padamu. Seperti kau memberi kue ini padaku. "
"Lalu uang pemberian bapak ?"
"Simpan saja, barangkali, besok atau lusa gurumu di sekolah menyuruhmu membeli buku baru lagi. Tapi kau harus membelinya di sini lho. He…he…"
Pak hamid dan Boma tertawa bersama. Dengan langkah kilat Boma mengambil buku matematika dari rak.
Lalu lintas masih ramai. Mataharipun masih bersinar dengan garang. Tapi Boma tak ingin berteduh lagi di bawah pohon. Ia ingin cepat tiba di rumah dan menunjukkan buku matematika yang baru didapatkannya pada ayah tercinta.

Obat Batuk Untuk Nenek

Kanti berlari paling depan. Menyusul dibelakangnya  Rumi dan Ari. Kanti berlari dengan lincah. Sesekali ia melompati genangan air yang muncul akibat hujan tadi malam. PYOK ! Bunyi  yang terdengar saat kaki Kanti yang pendek gagal melewati genangan air yang lebar. Air bercipratan kemana-mana. Mengenai Kanti juga Rumi dan Ari. Rumi dan Ari tak kesal mereka malah tertawa gembira.
Wajah Kanti berseri-seri. Apotik Sejahtera yang menjadi tujuannya sudah ada di depan mata.  Sore itu apotik Cempaka ramai pengunjung. Mereka semua orang dewasa. Kanti menyelinap dengan penuh semangat diantara tubuh-tubuh orang dewasa yang mengantri. Badan Kanti yang pendek dan kecil membuat gadis itu dapat melakukannya dengan mudah. Rumi dan Ari tak mengikuti apa yang di lakukan Kanti. Mereka cuma berdiri di pintu apotik.
   Kanti mengalami kesulitan saat ia berhasil mencapai etalase tempat memajang aneka macam obat. Kotak kaca itu terlalu tinggi untuknya, sehingga ia tak bisa bertatap muka langsung dengan  penjaga apotik. Kanti tak kurang akal. Ia mengulurkan tangan kanannya yang menggenggam beberapa  uang receh ke atas. Setelah itu ia berkata lantang sambil tangan kirinya mengetuk-ngetuk kaaca etalase.
"Mbak beli obat batuk sirup."
Penjaga apotik sedang sibuk sehingga mengabaikan teriakan Kanti. Kanti mengulang lebih dari 3 kali untuk mendapat perhatian penjaga apotik.
Seorang wanita muda berkacamata melongok dari balik etalase. Kanti tersenyum saat penjaga apotik itu menanyakan keperluannya dengan ramah.
"Mau beli obat batuk sirup mbak untuk nenek saya."
"Ehm obat batuk sirup yang mana ya ?" tanya penjaga apotik itu.
Kanti jadi bingung.
"Nenekmu pasti memberitahumu kan ?"
Kanti makin bingung.Neneknya tak menyebutkan nama obat yang harus dibelinya. Nenek cuma menyerahkan uang tanpa berkata apa-apa. Biasanya Kanti selalu banyak bertanya ketika nenek menyuruhnya. Tapi kali ini Kanti tak bisa melakukannya, karena sejak kemarin lebih banyak batuk yang keluar dari mulut nenek dari pada kata-kata nenek. Kanti jadi tak sampai hati bertanya banyak hal pada nenek.
"Ehm..obat batuk apa saja deh mBak, ini uangnya." Kanti memindakan uang receh di tangannya ke telapak tangan mbak penjaga toko. Dahi mbak yang ramah itu seketika mengernyit. Matanya menatap uang receh itu dari balik kacamatanya yang bergagang coklat muda. Wajahnya yang ramah kini berubah bingung.
"Mana obatnya mbak ?" tanya Kanti tak sabar. Ia heran penjaga apotik itu hanya berdiri saja tanpa mengambil yang ia perlukan,
"Maaf ya dik. Apa kau tak membawa uang lagi. Dengan uang ini kau tak bisa membawa pulang obat batuk untuk nenekmu." Mbak penjaga toko itu menjajar uang logam seratus rupiah sebanyak lima buah itu di atas telapak tangannya. Ia seolah-olah tak percaya kalau ada seorang anak kecil membeli obat batuk hanya dengan membawa uang lima ratus rupiah.
"Apa harga obatnya nggak bisa diturunkan mbak. Nenekku sangat membutuhkannya." Kanti memohon. Mbak penjaga itu menggeleng. Ia membuka genggaman tangan Kanti lalu menaruh kembali uang recehan itu ke dalamnya.
"Bawalah pulang kembali. Minta nenekmu memberi uang lebih." Katanya sambil beranjak meninggalkan Kanti. Kanti cemberut. Ia tak segera beranjak dari depan etalase, seolah tak percaya perkataan penjaga apotik, matanya mengelana melihat ke deretan obat batuk sirup yang dipajang di etalase. "Lima ribu rupiah yang paling murah," desahnya. Rumi dan Ari  melambai  memanggil Kanti.
"Uangnya kurang ya." Tanya Rumi. Sejak tadi ia memang khawatir uang Kanti nggak akan cukup untuk membeli obat batuk sirup untuk  neneknya.
"Bukan. Kurasa bukan begitu. Toko ini saja yang menjual obat terlalu mahal." Jawab Kanti setengah menggerutu.
"Pulang dulu yuk. Minta nenekmu memberi uang lagi." Saran Ari. Tapi Kanti menggeleng. Ia tahu di dompet nenek sudah tak ada uang lagi.
"Aku akan ke apotik yang lain. Pasti ada yang menjual obat yang murah."
Rumi dan Ari berdiri mematung.
"Kalian ikut tidak ?" tanya Kanti tak sabar. Ia memang harus segera membawa pulang obat batuk karena nenek menunggunya di rumah. Rumi dan Ari mengangguk. Kendati tak yakin, mereka tak ingin membiarkan Kanti mencari obat seorang diri.
Ketiga sahabat itu berlari lagi. Kali ini mereka berhenti di sebuah apotik yang jauh lebih besar dari apotik Cempaka. Apotik itu selain besar, bangunannya juga megah. Para pembeli obatnya hampir semuanya datang dengan mobil-mobil mengkilat. Rumi dan Ari saling berpandangan. Mereka tak yakin apotik sebesar ini punya obat batuk seharga uang recehan Kanti. Tapi mereka tak berkata apa-apa.
Kanti keluar tak lama kemudian. Wajahnya sedih dan uang lima ratus rupiah masih ada di tangannya.
Gerimis telah menjelma menjadi hujan deras di luar sana. Kanti menyaksikan air hujan yang tercurah rapat dan cepat itu dari balik jendela rumahnya. Dibelakang punggungnya butik tok tok tok terdengar makin keras dan ramai. Bunyi-bunyian itu berasal dari air hujan yang menerobos masuk lewat atap yang bocor dan jatuh di atas baskom baskom yang ditempatkan nenek di bawahnya.
Tot tok tok tok. Bunyi itu terdengar di beberapa tempat. Di belakang punggung Kanti, di kamar mandi, di dapur sempit nenek bahkan di kamar dimana nenek terus terbatuk-batuk hingga saat ini. Udara yang dingin membuat batuk Nenek makin menjadi-jadi. Kanti sedih sekali setiap kali melihat nenek berusaha tetap kuat melawan batuk yang membuat tubuhnya melemah. Gara-gara tubuhnya yang melemah nenek harus berhenti sementara waktu dari pekerjaannya sebagai buruh cuci baju.
"Kanti !" gadis kecil itu terkejut. Ia memang sedang termenung, sehingga suara yang lembutpun akan sanggup membuatnya terkejut. Nenek telah berdiri dibelakang Kanti. Nenek terbatuk-batuk lagi untuk beberapa saat.
"Apa yang kaupikirkan ? Apa kau masih memikirkan obat batuk yang tak terbeli itu." tanya nenek dengan suara yang parau. Kanti hampir saja menggeleng. Tapi tak ada gunanya berbohong pada nenek. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Nenek adalah orang yang mengasuhnya. Jadi Nenek hapal betul dengan tabiat Kanti.
"Iya nek." Kanti mengangguk.
"Tak usah khawatirkan itu lagi."
 "Tapi bagaimana nenek bisa sembuh kalau tak minum obat." Kata kanti.
"Yang menyembuhkan penyakit adalah Allah. Nenek akan berdoa supaya Allah memberi kesembuhan yang cepat." Nenek terbatuk-batuk lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya sampai tubuhnya terbungkuk-bungkuk. Kanti makin iba melihat keadaan nenek. Dalam hati ia berpikir mungkin Allah sengaja memberi sakit batuk pada nenek, supaya nenek punya kesempatan untuk beristirahat. Terbayang di matanya bagaimana kerasnya nenek bekerja selama ini. Dari pagi hingga petang bekerja mencuci baju-baju milik orang lain. Nenek tak pernah mengeluh ketika melakukannya.  Semua itu dilakukan nenek untuk mencari nafkah dan menyekolahkan Kanti.
"Aku harus melakukan sesuatu untuk nenek. Harus !" tekad Kanti dalam hati.

 Kati merasa lega. Cuaca pagi itu cukup bersahabat setelah semalam hujan terus-terusan mengguyur. Matahari mengintip malu-malu dari balik awan. Sinarnya walaupun sedikit terhalang, mampu menghangatkan udara pagi. Hari ini adalah hari minggu. Kemarin Kanti telah berjanji akan bertemu dengan Rumi dan Ari. Kemarin mereka bertiga telah menyusun sebuah rencana.
Rumi dan Ari telah menunggu Kanti di bawah sebatang pohon Angsana. Rumi membawa baskom plastik yang ditutupi selembar kain demikian pula dengan Ari. Kanti tersenyum mendekati kedua sahabatnya. Ia membuka sedikit kain yang menutupi baskom Rumi dan Ari. Asap mengepul dari pisang  goreng yang masih hangat.  Sudah sejak lama Rumi dan Ari berjualan pisang goreng. Mereka melakukankannya setiap hari Minggu,  sekedar sebagai tambahan uang jajan dan juga membantu menringankan beban orang tua.
"Ayo kita ke rumah Bu Sabar. Kita lihat apa yang beliau punya untukmu." Ajak Rumi. Rumi dan Ari membawa Kanti ke rumah Bu Sabar. Bu sapariyah adalah seorang pedagang makanan yang baik hati. Beliau suka memberi kesempatan pada siapa saja yang membutuhkan untuk menjajakan makanannya. Telah banyak anak-anak yang ditolong oleh Bu Sabar. Anak-anak itu berkeliling menjajakan makanan buatan Bu Sabar. Bu Sabar akan memberi upah sebanyak makanan yang terjual.
"Tinggal ini yang tersisa Nak." Kata ibu berwajah teduh itu. Disodorkannya sebuah termos berwarna hijau pada Kanti. Kanti terkejut saat menyentuh dinding termos yang dingin. Ia makin terkejut saat membuka isinya. Beberapa buah es sirup merah di dalam kantung-kantung plastik.
"Cuaca dingin dan  es sirup, bagaimana mungkin ?" desah Kanti. Ia mulai resah tak yakin ia akan mampu menjual es sirup di saat cuaca sedang dingin-dinginnya dan hujan yang terus menerus mengguyur.
"Mmaafkan saya Bu. Apakah saya tidak bisa menjual makanan yang hangat seperti teman-teman lainnya ?"Kanti bertanya dengan ragu-ragu. Ia khawatir Bu Sabar akan marah padanya. Namun di luar dugaannya Bu Sabar malah  tersenyum .
"Cuaca cerah adalah rahmat dari Allah, hujan juga rahmat dari Allah. Jadi tidak ada bedanya bukan. Pertolongan Allah selalu datang kapan saja tanpa mengenal waktu. Kau hanya perlu berusaha dengan seungguh-sungguh."
Kanti terdiam.
"Menurut temanmu kau membutuhkan uang untuk membeli obat buat nenekmu yang sangat kau sayangi. Nah gunakanlah itu sebagai  penambah semangatmu."
Kata-kata Bu Sabar membangkitkan semangat Kanti. "Baiklah Bu, akan saya coba." Kata Kanti. Setelah Bu Sabar menjelaskan keistimewaan sirup merah Stoberi buatannya, Kanti bergegas meninggalkan rumah Bu Sabar dan mulai menjajakan sirup merah stroberi. Ia berjalan sendiri. Rumi dan Ari telah berkeliling sejak tadi.
Baru beberapa saat  berkeliling, gerimis telah datang. Kanti membuka payung yang dibawanya dari rumah. Tangan kanannya memegang termos, tangan kirinya memegang payung. Kanti melihat seorang bapak berteduh di teras toko-toko kecil, menunggu angkutan kota yang setiap saat lewat di jalan itu.
"Es sirup Stroberi Pak ! Murah seribu rupiah saja." Kanti membuka tutup termos dan menunjukkannya pada bapak itu. Bapak itu cuma melihat sekilas, lalumerapatkan kedua tangannya seolah sedang kedinginan. Seorang ibu berdiri tak jauh dari bapak tadi. Kanti melakukan hal yang sama dengan sebelumnya.
"Es sirup ini stroberi Bu."  Namun ibu tadi cuma menggeleng. Beberapa anak laki-laki berjalan di atas trotoar. Mereka nggak memakai payung rupayan sengaja berhujan-hujan.
"Es sirup stroberi." Ujarnya pada anak-anak itu. Seorang anak laki-laki dengan baju basah kuyub melihat Kanti sambil tertawa meledek. "He..he..nggak salah nih. Seharusnya kau menjual minuman yang hangat. Dingin dingin begini jualan es. Ihh…siapa yang mau beli." Anak-anak yang lain juga ikut tertawa.
Kanti menggigit bibir. Kata-kata anak-anak tadi sedikit melemahkan semangatnya. Kanti berjalan lagi di trotoar. Mobil dan motor di jalan melaju dengan kencang. Hujan masih gerimis. Setiap orang yang dijumpainya ditawarinya es sirup merah. Tapi sejauh ini tak ada satupun yang berniat membeli. Es sirup di termos masih tetap berjumlah 11 buah. Yang sepuluh untuk dijual, sisanya adalah bagian untuk Kanti. Kanti belum menyentuh sedikitpun es sirup bagiannya. Kanti pun tak punya sedikitpun keinginan untuk meminumnya. Ia malah membayangkan segelas teh hangat yang biasa dibuat  nenek untuknya di kala hujan.
"Aku sendiri malas meminumnya apalagi orang lain." Batinnya mulai membenarkan olok-olok anak-anak tadi. 
 Kanti berteduh di bawah sebatang pohon yang besar.  Batang pohon itu begitu besar, sehingga kalau Kanti melingkarkan kedua tangannya di sekelilingnya, kedua tangannya tidak akan bertemu. Kanti  bersandar lesu. Ia hampir putus asa. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Tadi sebelum  berangkat menjajakan es sirup ia belum berdoa.
"Kenapa aku bisa lupa." Sesal Kanti. Berdoa sebelum melakukan sesuatu selalu ia lakukan. Nenek yang mengajarinya melakukan hal itu. Kanti menundukkan kepala."Ya Allah berikanlah kemudahan padaku untuk menjual es sirup ini.agar aku bisa membeli obat sirup untuk nenek. Amin.
Seorang bocah kecil berdiri tak jauh dari Kanti. Kanti baru melihat bocah itu sesaat setelah ia selesai berdoa. Bocah laki-laki itu memandang Kanti dan termosnya bergantian. Begitu terus berulangkali, membuat Kanti keheranan. Tiba-tiba bocah itu bergerak ke balik batang pohon yang besar itu. Sesaat kemudian ia menarik tangan seorang gadis yang seusia dengan Kanti. Rupanya gadis itu juga berteduh di bawah pohon itu. Tepatnya di sisi batang yang lainnya.
"Adikku memintaku untuk bertanya padamu. Apa yang kau jual itu ?" tanya anak perempuan itu pada Kanti. Gadis itu membawa keranjang kecil di tangannya.
"Es sirup Stroberi." Jawab Kanti tak bersemangat.
"Boleh kami melihatnya ?" tanya gadis ragu-ragu. Kanti membuka tutup termosnya. Gerakannya tak bersemangat. Ia tak yakin kedua kakak beradik di hadapannya itu akan membeli es sirupnya.
"Hm..kelihatannya enak. Berapa satu ?"
"Seribu rupiah." Jawab Kanti. Gadis itu tertunduk. Kemudian ia berbisik ke telinga adiknya. Tiba-tiba bocah laki-laki itu seperti mau menangis. Ia merengek-rengek pada kakaknya. Gadis itu kelihatan bingung.
"Kenapa ?" Kanti ingin tahu.
"Adikku ingin membeli es sirupmu tapi…." gadis itu ragu-ragu lagi."Kami hanya punya uang lima ratus rupiah."
Kanti terdiam. Ia merasa kasihan pada bocah cilik itu dan kakaknya yang tampaknya tak kuasa untuk membujuknya.
"Kamu tak perlu membeli." Kata Kanti mengagetkan gadis kecil itu. "Ambilah ini. Satu es yang ada di termos ini adalah bagianku." Kanti menyodorkan sekantong plastik es sirup. Kini dalam termos itu ada 10 buah es sirup.
"Hm..enak… enak !" bocah itu berteriak kesenangan. Kanti sampai terkejut mendengarnya. Gadis kecil itu ikut mencicipinya, matanya langsung berbinar. "Wah memang benar-benar enak."
"Sungguh ?" tanya  Kanti tak yakin. Gadis itu terheran-heran.
"Jadi kau belum pernah meminumnya. ?" Tanya gadis itu tak percaya. Kanti menggeleng lesu."Ini hari pertamaku berjualan es sirup. Dan tak seorangpun yang membelinya. Gadis kecil itu segera menyodorkan es sirup yang tadi diminumnya. Kanti meminum seteguk. Meminum es sirup itu serasa sedang mengunyah buah stoberi yang manis dan segar. Subhanallah, es sirup stroberi itu benar-benar segar dan nikmat.
"Tapi tak seharusnya dijual di musim hujan begini kan." Ucap Kanti lesu.
"Siapa bilang, aku tak keberatan meminumnya biarpun berada di tengah hamparan salju sekalipun." Ujar gadis itu bersemangat.
"Hanya kau yang berkata seperti itu." sahut Kanti.
"Itu karena mereka belum merasakannya. Kau hanya perlu meyakinkan orang lain bahwa rasa es stroberimu sangat enak." Lanjutnya. Gadis itu kemudian memperkenalkan diri. Namanya Tami. Ia seorang penjual permen. Tami menunjuk pada serombongan anak di seberang jalan. Anak-anak itu di temani ibu mereka.
"Kami baru saja menjual permen pada mereka. Tahu tidak mereka semua memilih permen rasa stroberi. Kurasa itu adalah kesempatanmu. Ayo Cepatlah ke sana sebelum mereka pergi."
Kanti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Setelah berpamitan pada Tami dan adiknya, Kanti segera menuju ke seberang jalan. Tapi anak-anak itu keburu beranjak sebelum Kanti sampai ke tempat mereka. Kanti mempercepat langkahnya, beruntung hujan telah reda, hingga Kanti tak perlu direpotkan lagi oleh payungnya.
"Es sirup stroberi. Segar dan nikmat." Seru Kanti. Ia kini mulai berlari. Khawatir tak akan mampu mengejar anak-anak yang berjalan cepat jauh di depannya.
"Es sirup sroberi." Kanti terus berteriak. "Es sirup Stroberi…es sirup stroberi"
Tiba-tiba salah seorang dari anak-anak itu menoleh. Anak itu berkata sesuatu hingga semua anak akhirnya berhenti.
"Es sirup stroberi. Rasanya enak sekali. " Seru Kanti dengan penuh semangat. Ibu anak-anak itu menggeleng. Tapi salah seorang anak laki-laki sedikit memaksa.
"Baiklah satu saja ya." Kata ibu tadi melegakan hati Kanti. Kanti mengambil sekantung es sirup. Ibu tadi megulurkan selembar uang seribu rupiah.
"Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah." Seru Kanti berulang- ulang. Ia hendak meninggalkan tempat itu ketika tiba-tiba didengarnya suara ribut. Rupanya anak-anak itu berebut minum es sirup stroberi.
"Hai Dik kemarilah !" panggil ibu tadi. Kanti mendekat dengan hati berdebar
"Ibu beli empat lagi ya. Rupanya anak-anak sangat menyukai es sirup stroberimu."
"Oh iya bu." Kanti membuka tutup termosnya dengan bersemangat. Ia mengeluarkan lagi empat kantung es.
Keberhasilan itu membuat Kanti makin bersemangat. Dengan semangat yang menyala ia terus berjalan menjajakan es sirup stroberinya.
"Es sirup stroberi segar. Nikmat rasanya. Cobalah, pasti tak menyesal.Gulanya dari gula asli. Sangat menyehatkan." Kanti makin lihai menawarkan dagangannya.
Kanti berjamaah sholat Ashar di rumah ibu Sabar . Ia merasa bahagia karena telah berhasil menjual semua es ditermosnya. Bu Sabar memberi Kanti uang 5000 rupiah sebagai hasil jerih payahnya. Ibu yang baik itu menepuk pundak Kanti berulang-ulang. "Ibu tahu, kami pasti bisa melakukannya Nak."
Kanti berlari riang. Selembar uang lima ribu rupiah menghuni kantungnya. Kanti tak langsung pulang. Ada hal yang harus dikerjakannya. Apotik Cempaka sedang sepi pengunjung.  Seorang penjaga apotik menyambut kedatangan Kanti. Ia memakai kacamata dengan gagang coklat muda. Kanti  mengenali wajah penjaga apotik yang ramah itu, demikian pula sebaliknya.
"Kau masih mau membeli obat batuk sirup untuk nenekmu ?"tanya penjaga apotik.
"Iya !" jawab Kanti cepat.
"Tapi tak ada obat batuk yang harganya lima ratus rupiah. Ingat itu Dik."
"Iya aku tahu. Aku membawa uang lebih sekarang." Ujar Kanti riang.
"Oh ya baiklah. Obat mana yang kau pilih ?"
Kanti menunjuk sebotol sirup obat batuk berbungkus karton hijau. Botol obat batuk itu masih berada ditempat yang sama saat Kanti pertama kali melihatnya.
"Yang ini Kak. Tolong dibungkus ya." Kanti mengeluarkan uang kertas lima ribuan dari kantung bajunya. Lalu menyerahkan dengan bangga  pada penjaga apotik.
"Baiklah. Semoga nenekmu cepat sembuh."
Kanti  mendekap erat kantong plastik berisi obat batuk sirup untuk nenek.  Ia ingin cepat tiba di rumah dan menyerahkan obat itu pada nenek tercinta  @@@