Showing posts with label Cerpen anak. Show all posts
Showing posts with label Cerpen anak. Show all posts

Saturday, July 4, 2015

Tolong, Aku Diculik !


Jano terkejut, di jalan  sepi tak jauh dari sekolahnya, seorang lelaki berkacamata hitam menghadangnya.  
“Ada kabar buruk Dik. Ayahmu sakit.parah, Sekarang ada di rumah sakit.  !”Lelaki  jangkung itu bersikap sopan sekali pada Jano.
Jano terkejut. Tentu saja, tadi pagi ayahnya segar bugar. Jano merasa cemas pada ayahnya. “Bapak siapa ?” tanya Jano. Ia tak pernah bertemu orang itu.
“Saya Om Joko, teman ayahmu.Sekarang ikut denganku ke rumah sakit. Ayahmu ingin sekali bertemu denganmu. ”
“Tapi Om ?” Jano ragu. Ia tak boleh pergi bersama orang asing. Itu pesan ayah yang selalu diingatnya. Tapi lelaki jangkung itu tampak kehilangan kesabaran.
  “Sudah, jangan banyak tanya. Kau masih ingin melihat ayahmu kan ?” kali ini suaranya membentak. Jano berdebar-debar. Ia mulai was-was. Akal sehatnya mulai bekerja. Jangan-jangan orang ini jahat. Jano berniat lari tapi…
“Mau kemana,” lelaki itu mencengkeramnya. Jano kesakitan.  Laki-laki itu menarik tangan Jano menuju sebuah sedan hitam.
 “Lepaskan aku… lepaskan  !” Jano meronta. Ia berteriak tapi percuma saja karena jalan itu benar-benar sepi.
 “BRUK !” Lelaki itu mendorong Jano ke jok belakang lalu menutup pintunya. Duduk dibelakang kemudi, seorang lelaki gemuk.  
            “Nih dik, permen buat kamu !” lelaki gemuk itu tersenyum riang padanya sambil melemparkan beberapa biji permen ke jok belakang. Meskipun si pengemudi mobil itu bersikap ramah Jano ketakutan. Apa yang diinginkan orang-orang ini?
 Tiba-tiba jantung jano serasa berhenti berdetak. Astaga …aku diculik !!? pikirnya seketika.  Sudah sering ia mendengar berita penculikan bocah sepulang dari sekolah. Dan saat ini ia yang mengalaminya. Dan itu berarti kabar tentang ayahnya yang sakit adalah bohong !
 Jano ingin menangis. Apalagi saat lelaki jangkung itu menelpon seseorang. Itu suara ayah Jano. Ayah Jano tampak panik di telepon.
 “Tenang Jano, percuma menangis. Berpikirlah supaya  lolos  !”  pikir Jano.
Jano mulai berpikir. Pura-pura sakit perut.Minta berhenti di toilet umum. Lari kalau ada kesempatan. Bisa dicoba ! pikirnya.
 “Om sakit perut. Mau ke kamar mandi.” Jano pura-pura merintih.
“He he… mau lari yah. Tipuan kuno !” kedua lelaki itu tertawa mengejek.
“Uh !” Jano kesal. Upaya pertamanya gagal. Apalagi nih ?
 Jano ia melihat keadaan di luar jendela. Ia tahu di mana mobil berada saat ini.  Di jalan Martapura ! Jano ingat , di ujung jalan Martapura ada lampu merah. Daerah itu selalu  macet. Mobil harus berhenti agak lama, sebelum bisa berjalan kembali. Jano ingin memanfaatkan keadaan itu. Bagaimana caranya.
 Jano mendapat akal. Ia dengan sangat hati-hati ia mengambil spidol dari dalam tasnya.  Gemetar ia menulisi telapak tangan kirinya dengan huruf yang besar- dan tebal  : . TOLONG ! AKU DICULIK !”
 “Hey sedang apa !”bentak lelaki jangkung saat  Jano menunduk lama di jok belakang.
“Sakit perut om!” jawab Jano dengan suara gemetar.
“Dasar pembohong !” laki-laki itu membentak lagi. Jano lega, lelaki  itu tak mencurigainya.
 Saat yang ditunggu Jano. Mobil  berhenti  di lampu merah. Di samping sedan hitam merambat banyak kendaraan yang bersiap untuk berhenti. Sebuah sepeda motor  berhenti tepat di bagian tempat Jano berada.
 Jano  cepat menempelkan telapak tangan kirinya di kaca mobil. Ia berharap pengemudi motor itu membaca pesan di tangannya. Tapi orang itu tak melihatnya. Jano tak putus asa. Ia terus menempelkan telapak tangannya di kaca. Ia  berhati-hati agar tak dicurigai  oleh kedua penjahat itu.  
Kali ini sebuah sepeda motor berhenti. Seorang bapak membonceng seorang anak lelaki berseragam sekolah. Anak itu sebaya Jano. Jano berharap anak itu melihatnya di balik kaca.“Ayo lihat sini… bacalah… bacalah !” desahnya memohon.
  Jano tak tahu persis apa yang terjadi. Anak itu tiba-tiba gugup. Ia menepuk pundak ayahnya lalu menunjuk-nunjuk ke samping. Jano memekik. Ia yakin anak itu membaca pesannya.
Oh tidak ! Lampu hijau menyala. Mobil sedan hitam bergerak.  Motor itu tertinggal di belakang. Jano sangat sedih. Ia gagal lagi.
  “Tuhan tolong aku,” doanya tanpa henti.  
  Jano mulai putus asa. Namun beberapa saat kemudian, terdengar bunyi sirine. Dua mobil polisi mendekat dengan cepat,  memotong jalan  mobil sedan hitam.
Ciit! mobil sedan hitam  berhenti mendadak. Empat  polisi mengepung. Kedua penjahat panik, tak  berkutik. Mereka  tertangkap tangan  menculik seorang anak yang baru pulang dari sekolah.  
  Seorang polisi membuka pintu samping. Jano senang sekali. Ia cepat keluar dari mobil penculik itu.
“Terima kasih Pak Polisi,” kata Jano.
“Seorang anak membaca pesan di tanganmu.  Hebat, kau anak yang cerdik !” puji pak Polisi sambil menepuk bahu Jano.  
Jano merasa lega dan bangga. Ia ingin segera pulang dan bertemu dengan  orang tuanya. Siang ini Jano mendapat pengalaman yang berharga. Satu hal yang ingin disampaikannya pada teman-temannya. Jika diculik,  jadilah anak yang cerdik !  

Friday, December 16, 2011

Huu Charli huu....!!

Hai, aku Charli. Aku punya sebuah pengakuan. Aku adalah si pengacau di kelas. Nakal, bandel, jahil, begitu deh teman-teman mengataiku. Bangkai cicak, kecoak, ulat bulu kutaruh ke laci meja Vinza si penakut.  Pensil Edo, penggaris Samy, buku Lala, kupinjam, tapi aku ogah mengembalikannya. Klek! Rubik Ilham kupatahkan. Ciatt…! Sebelah sepatu Yanyan masuk  selokan, kena tendangan mautku. Yanyan harus beli sepatu baru gara-gara peristiwa itu.  “Hahaha..Asoyy..!Aku girang sekali setiap sukses berbuat jahil. Teman-teman jelas tak suka padaku. Tapi pede aja lagi. Badanku kan gede. Wuihh, bangganya jadi jagoan kelas.  Kebiasaanku lainnya adalah, nyontek, pinjam PR teman dengan paksa dan berisik saat guru mengajar.
Aduh, kau pasti tak suka padaku. Tunggu,  dengarkan dulu! Semua hal itu sudah berlalu. Sekarang aku sudah berubah.  Jika Pak Dede wali kelasku akan  pensiun jadi guru. Aku juga pensiun. Pensiun jadi si pembuat onar. Cuma,  ada masalah besar. Tak ada  yang mau percaya padaku !

“Achhh!” Vinza menjerit sambil menunjuk laci mejanya. Anak-anak merubungnya dan menemukan ular-ularan karet. Serempak semua berteriak sambil melihat ke pojok kiri belakang. Di sana aku duduk bersama Noi, si  murid baru.
“Charliii !”
 “Loh Bukan aku, “aku terkejut dan cepat-cepat  membela diri.
“Charli super jahil, jangan bohong !” seru Tari sengit.
“Siapa lagi. Kamu pernah masukin ulat bulu ke laci  mejaku!” jerit Vinza.
“Ya..t ttapi tapi…!”
“Huu..Charli huu !” anak-anak berteriak ramai.
 “Ngaku saja Charli, “bisik Noi sambil nyengir. Matanya berkedip kedip nakal.
“Huh, bukan aku, mana bisa aku mengakuinya.”keluhku. Jujur,  aku memang tidak memasukkan ular-ularan ke laci Vinza kok !
“Hey mana bolpoinku !” tiba-tiba Edo yang duduk di depanku berteriak panik. Bolpoin oleh-oleh pamannya dari Hongkong lenyap. Edo langsung membuatku terkejut “Charli  ayo kembalikan !”
 “Jangan menuduh sembarangan !” jawabku cepat.
“Halahh ngaku saja,” Riki teman sebangku Edo ikut-ikutan.
“Cepat kembalikan ,  kalau tidak, aku lapor Pak Dede,  ” ancam Edo.
“Kembalikan saja Charli,” lagi-lagi Noi ikut nyeletuk sambil nyengir. Huh anak ini,  kelihatannya  senang sekali aku dituduh seperti itu.
“Aku tidak mengambilnya, sungguh ! Periksa tasku kalau tidak percaya !” Aku  menyorongkan tasku.
“Uh tidak percaya, bolpoinku pasti kau sembunyikan di tempat lain !”
“Ya sudah kalau tidak percaya !” Aku kesal.
 Bel istirahat berbunyi. Teman-teman tetap di kelas. Ada hal istimewa yang akan terjadi di kelas  6C setelah istirahat nanti, yaitu acara perpisahan dengan Pak Dede wali kelas kami tercinta. Aku ikut menghias kelas. Hasilnya lumayan indah.
“Charli, jangan  bikin onar di perpisahan Pak Dede ya!” tegas Tio ketua kelas.
 “Iya, jangan  bikin ulah !” timpal Yanyan.  
“Tenang, tidak akan terjadi apa-apa kok!” Aku yakin sekali. Yakin dong. Si pembuat onar kan sudah pensiun he..he..
 Tet…! Bel masuk berbunyi. Pak Dede  muncul. Beliau terharu melihat ruang kelas berhias indah. “Terima kasih, Bapak sedih sekaligus bahagia hari ini. Ternyata kalian semua adalah murid yang baik.”
Pak Dede lalu duduk di kursi. Sekonyong-konyong Pak Dede  terkesiap. Astaga ! Ada  permen karet menempel di kursi. Celana Pak Dede kena permen karet. Kelas gaduh. Semua anak terkejut. Aku panik. Ya ampun, siapa sih yang berani jahil di kelas ini ?  Seingatku, tak ada anak lain yang suka iseng selain aku. Duh gawat, bisa-bisa aku dituduh lagi.  Tiba-tiba,
“Huuu.. Charlii.. huuu !” anak-anak berteriak marah sambil menatapku.
“Loh..ttidak.. tidak, bukan !” aku tergagap-gagap membela diri.
“Charliii ! Aku kan sudah mengingatkan kamu,” Tio jengkel.
“Charli, kamu bukan temanku lagi!” bentak Yanyan.
“Huuu.. Charlii.. huuu !” teriakan memenuhi kelas.  Mataku berkaca-kaca.  Syukurlah Pak Dede mampu menenangkan  teman-teman. Acara berakhir sukses meski agak tegang. Di akhir acara Pak Dede memanggilku ke ruang guru.
    “Charli, Bapak tahu kau banyak berubah akhir-akhir ini. Jadi Bapak yakin  kau tidak melakukannya.”
    “Terima kasih  Pak, tapi cuma Bapak yang percaya padaku,”kataku putus asa.
    “Tidak mudah mendapatkan kepercayaan lagi setelah banyak hal buruk yang kita perbuat, Charli. Tapi jangan putus asa. Teruslah berbuat baik. Berjuanglah untuk nama baikmu dengan cara mencari siapa pelaku sebenarnya.”
   Yah…benar ! Itu yang harus kulakukan !”pekikku.
   Dengan penuh semangat aku kembali ke kelas. Mulai hari ini akan kucari siapa si jahil itu. Di pintu kelas Noi menyambutku sambil cengar-cengir. Noi ?! Dia baru pindah 2 minggu lalu. Sejak dia datang ada saja kejadian buruk di kelas. Hey kenapa tidak terpikirkan olehku? Yah, Noi layak dicurigai.  Oke, penyelidikan akan kumulai dari dia.  Doakan aku ya teman-teman. *** yuli anita



Sunday, November 13, 2011

Gempa dan Jaket Tiyok

         Penampilan Tiyok oke sekali pagi ini. Ia memakai jaket baru yang sangat keren.  Tiyok berangkat sekolah dengan riang. Jaket barunya itu membuatnya cara berjalannya beda. Tiyok ingin memamerkan jaket barunya pada teman-temannya.
Tiyok berangkat naik angkot. Di angkot seorang bapak  membaca koran. Headline pagi itu  adalah  gempa di Sumatra Barat. Yah akhir-akhir ini memang sering terjadi gempa di beberapa wilayah Indonesia.
 Tiyok tiba di sekolah.
“Wah, jaketmu keren amat  Yok, ” puji  Andi
“Beli di mana Yok ?” kata  Wily.
  Tiyok senyum-senyum saja di kulum. Uh, rahasialah ! 
Bel berbunyi. Terpaksa Tiyok melepas jaketnya, Tidak boleh memakai jaket di dalam kelas. Bu Ninda, masuk kelas. Beliau bersama dua lelaki. Seorang bertopi, seorang lagi berkacamata. Yang bertopi, Pak Arya. Yang berkacamata namanya Pak Haris. Anak-anak  pun berbisik-bisik. 
Bu Ninda memperkenalkan siapa itu Pak Arya dan Pak Haris. Mendengarnya anak-anak terdiam. Kelas sunyi saat Pak Arya berbicara.. Anak-anak tegang.  Tak ada yang ingin melewatkan perkataan Pak Arya  sedikitpun.   Tiba-tiba….
“GEMPAAA !”Pak Arya berteriak panik. Tubuhnya goyang-goyang. Anak-anak kebingungan. Wajah mereka  tegang.
 “Jangan  panik, keluar kelas bergantian!” Bu  Ninda berteriak pula.  Tapi anak-anak  tak bisa tenang. Berlari ke pintu lalu berdesakan.  Tiyok pun demikian.   Tiyok berhasil keluar dari kelas. Tapi beberapa temannya masih berada di dalam kelas. Terdengar teriakan dari dalam kelas
“Awas  atap mau runtuh. Berlindung di bawah meja !” teriak Pak Arya. Anak-anak di dalam ruangan segera berlindung di bawah meja. Mereka melindungi kepala mereka dengan tas, sebagaimana yang diperintahkan oleh Pak Arya.
Sementara itu Tiyok makin jauh berlari meninggalkan kelas. Dia bersama Pak Haris dan  beberapa temannya.. “Perhatikan jalan. Hindari tanah merekah, jauhi tiang listrik dan gedung tinggi…, teriak Pak Haris parau.
Tiyok berlari kencang. Hatinya berdebar-debar. Namun mendadak ia ingat sesuatu.
“Jaketku jaketku,  Pak,” teriak Tiyok panik. Ia balik kanan untuk kembali ke kelas.
“Tidak boleh kembali  ke sana. Berbahaya ! Keselamatan jauh lebih penting dari sebuah jaket !” tahan Pak Haris
Tiyok menangis.  Ia bergabung dengan teman-temannya di lapangan sekolah sambil mengaduh,… Jaketku…jaketku ! Tapi…hey, ada apa ini ? Tiyok heran.  Semua anak memandangnya geli.
 Sedetik kemudian, “Hua..ha…ha !” anak-anak menertawakan Tiyok.
“Tiyok…ini kan cuma latihan gempaaa…!” seru Wily mengagetkan Tiyok. Wajah Tiyok merah padam. 

Anak-anak berkumpul di lapangan. Pak Arya dan Pak Haris berada di antara guru dan kepala sekolah.
“Anak-anak, Bapak puas dengan kegiatan kita kali ini. Negeri kita berada di kawasan rawan gempa. Kita tak boleh menjadi takut karenanya. Kita hanya perlu waspada, dan sering melakukan kegiatan simulasi gempa seperti ini, ” kata kepala sekolah. Kepala sekolah lalu berterima kasih kepada Pak Arya dan Pak Haris.. Mereka adalah petugas dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Kehadiran mereka di sekolah Tiyok adalah untuk melatih anak-anak menghadapi gempa.
Sebelum acara berakhir petugas BMKG itu mengingatkan kembali beberapa tip menghadapi gempa. Antara lain : hindari tempat beratap. Sebisa mungkin keluar dari gedung. Jangan kembali untuk mengambil tas atau lainnya. Bila tak sempat keluar, berlindung di bawah meja, atau merunduk di samping dinding. Jika di berada di luar perhatikan langkah kaki. Hindari rekahan tanah, tiang listrik dan gedung tinggi.
Anak-anak kembali ke kelas. Tiyok jadi bahan ledekan karena ulahnya tadi. Tiyok malu sekali. Yah, mau bagaimana lagi. Simulasi gempa tadi menegangkan sekali. Tiyok sampai lupa kalau itu cuma latihan. @@@

Wednesday, October 12, 2011

Negeri Kira-Kira

           Negeri Kira-kira adalah negeri impian Olan. Seperti namanya segala bentuk pengukuran dan penghitungan tak berlaku di negeri itu. Semua kegiatan yang memerlukan pengukuran dan penghitungan akan di kira-kira saja. Olan sangat ingin tinggal di sana. Ia punya satu alasan yang kuat, yaitu : ia benci matematika.
Olan tersenyum lebar. Ia telah tiba di negeri impiannya. Dengan ransel di punggung, Olan kini berhadapan dengan pintu gerbang Negeri Kira-kira yang berbentuk dua pilar. Pintu gerbang itu indah, berlapiskan batu pualam dan granit. Tapi Olala, Olan geli. Ia baru menyadari jika gerbang itu miring. Pilar  kanan lebih panjang dari pilar kiri.
Olan memasuki wilayah Negeri Kira-kira. Baru beberapa langkah ia kembali terkikik geli. Jalan-jalan di negeri itu sesak dengan mobil dan orang lalu-lalang. Yang menggelikan semua mobil bentuknya tak simetris. Pintu kanan lebih kecil dari pintu kiri. Roda kanan lebih besar dari roda kiri. Tapi meski demikian, mobil-mobil itu bisa berjalan. Baju orang-orang mencang-mencong. Lengan kanan lebih pendek dari lengan kiri. Rumah-rumah di sepanjang jalanpun tampak unik. Tonggaknya tidak sama panjang. Pintu dan daun jendelanya    tidak tepat persegi panjang.
  “Tentu saja dik. Negeri kami tak mengenal angka. Segala sesuatu disini tak perlu diukur dan dihitung. Semua di kira-kira saja. Tapi lihatlah, semua baik-baik saja kan, ha..ha..ha..!” jawab seorang pemuda saat Olan bertanya kenapa semua benda di negeri Kira-kira tampak aneh.
 “Ya semua baik-baik saja dan malah kelihatan seru!” Olan setuju sekali. Olan pun sangat bahagia. Ia senang karena di negeri Kira-kira ia tak akan bertemu angka-angka dan matematika. “Selamat tinggal matematika, selamat tinggal pusing kepala,”teriaknya senang.
Olan kini merasa lapar. Ia melihat sebuah kedai yang ramai di sisi jalan. Sebelum datang ke negeri itu, ia telah menyiapkan mata uang negeri Kira-kira. Mata uangnya cuma ada satu jenis. Yaitu uang logam warna tembaga.
“Tuangkan uang logam sebanyak segenggaman tanganku ini. Itulah harganya !” jawab ibu pemilik kedai saat Olan bertanya harga sebutir telur rebus.  
“Begitu saja ?” Olan heran. Ibu itu mengangguk. “Yihuyy ini hebat sekali,” seru Olan gembira. Betapa tidak ia tak perlu pusing-pusing dengan uang kembalian. Sungguh berbeda dengan negeri tempat tinggalnya dulu. Sering sekali Olan kena marah ayahnya karena salah menghitung uang kembalian. Ayah Olan punya toko kecil. Saat menjaga toko, Olan yang tak suka matematika, sering keliru menghitung uang kembalian. “Olan, uang kembaliannya cuma 1500, bukan 2500. Aduh, rugi kita kalau terus begini !” omel ayah beberapa hari lalu, saat Olan lagi-lagi memberi kembalian terlalu banyak pada seorang pembeli di tokonya.
“Huh, aku benci matematika !” gerutu Olan.
Hari menjelang sore. Olan mencari penginapan. Ia bertanya pada orang-orang di jalan. Mereka mengatakan ada penginapan yang bagus di jalan Baga. Olan pun sampai di jalan Baga. Ia tak mengira jika jalan Baga sangat besar dan panjang. Olan kebingungan. Ia tak jua menemukan penginapan tersebut.
“Jalan Baga nomer berapa ?” tanya Olan pada seorang pemandu pariwisata. Tapi orang itu  bingung. Olala, Olan lupa jika negeri Kira-Kira tak mengenal angka.
“Letaknya di sebelah rumah bercat kuning cerah, dengan sebuah pohon cemara angin didepannya dan tong sampah warna hijau muda garis-garis putih,” jawab orang itu. Olan bergegas mencarinya. Tapi ternyata sangat tidak mudah. Ada banyak rumah bercat kuning dengan pohon cemara angin, dan tong sampah hijau muda di depannya Sekujur badan Olan sampai berkeringat untuk  menemukan penginapan itu.
Esoknya Olan jalan-jalan di negeri Kira-kira. Ia mengunjungi pasar yang ramai. Olan membeli sebuah mainan dari kayu. Penjualnya seorang bapak dan anak perempuannya. “Harganya dua genggaman tanganku !” jawab bapak penjual mainan.  “Cring !” Olan menuangkan uang logam ke dua genggaman tangan bapak itu. Tangannya besar, Olan memerlukan banyak uang logam untuk memenuhinya. Sebelum Olan pergi, datang lagi seorang bocah lelaki. Bocah itu membeli mainan yang sama. Tapi kali ini yang melayani adalah si anak perempuan.
“Harganya dua genggaman tanganku,.” jawab anak perempuan itu sambil mengulurkan tangannya. “Cring !” uang logam memenuhi kedua tangan itu. Tapi tentu saja jumlahnya tidak terlalu banyak, karena tangan anak perempuan  itu kecil mungil.
“Hey, ini tidak adil!” protes Olan. “Aku dan dia membeli mainan yang sama, tapi aku membayar lebih banyak uang logam ! “
Protes Olan sia-sia. Dia pun pergi dengan bersungut-sungut. Olan tertarik pada seorang penjual kain di pasar.  Ia hendak membeli tiga meter kain untuk ibunya.
“Segini, segini, lalu segini lagi !” Olan merentangkan tangannya tiga kali untuk menggambarkan kain sepanjang tiga meter. “Oh tunggu, tambahkan lagi segini !” Olan tak yakin. Ia merentangkan lagi sebelah tangannya. “Duh merepotkan sekali,” gumam Olan, saat penjual kain menempelkan kain pada tangannya.
Pasar makin ramai. Orang berjalan berdesak-desakan. Tiba-tiba ada yang menarik tas Olan. Olan cepat menoleh. Seorang lelaki jangkung membawa kabur ranselnya. “Tolong…copet !” teriak Olan. Tapi terlambat, pencopet itu sudah menghilang bersama ransel Olan yang berisi banyak uang logam. Orang-orang mengerumuni Olan. Mereka menanyainya tentang ciri-ciri pencopet itu.
“Tingginya hampir 2 meter, memakai tiga gelang kayu warna hitam.” jawab Olan membuat para penduduk Negeri Kira-kira melongo. “Maksudku tingginya seperti batang pohon itu, oh bukan kurasa setinggi pintu rumah itu.” Olan menunjuk pohon di sisi pasar dan sebuah rumah di dalam pasar dengan wajah kebingungan. Olan kehilangan kata-kata saat menjelaskan tentang tiga gelang itu.
Olan pun melaporkan kejadian itu ke kantor polisi terdekat. Setibanya di kantor polisi.. “Sebanyak apa  uangmu yang hilang?” tanya Pak Polisi.
“Sebanyak ini !”kedua tangan Olan menggambarkan tumpukan uang.
“Segini ?” Pak Polisi menirukan gerakan tangan Olan.
 “Tidak Pak Polisi ! lebih banyak lagi !”
“Sebanyak ini ?” tangan Pak Polisi kembali menggambarkan tumpukan uang. Olan menggeleng. “Tidak Pak, itu terlalu banyak !” sahutnya. Olan pun mulai kesal.  Berjam-jam di kantor Polisi, mereka cuma berdebat soal banyaknya uang yang diambil pencopet. Olan  keluar dari kantor polisi dengan wajah cemberut. Ia kesal sekali. Ia pun memutuskan untuk pulang saja ke negerinya. Angka dan matematika memang sering bikin pusing. Tapi ternyata,  lebih pusing lagi kalau tanpa keduanya.  @@@               

Thursday, September 29, 2011

Donat dan Buku Matematika

Boma berlari menuju kelas 3C. Ia harus secepatnya tiba di sana menemui Manik temannya. Saat itu adalah saat pergantian jam pelajaran. Suasana kelsa sedikitgaduh menunggu guru yang akan mengajar pelajaran selanjutnya. Anak-anak kelas 3 C memandang seorang anak berambut keriting yang masuk kelas mereka dengan terburu-buru. Boma malu, ia berusaha menghindar dari tatapan anak-anak di sekelilingnya. Ia segera menuju bangku kedua dari deretan depan. Manik duduk di tempat itu bersama Gugun teman sebangkunya.
"Manik, pinjam buku matematikanya ya."  Boma berbisik pada Manik. Ia tak ingin perkataannnya didengar oleh Gugun atau anak-anak di sekitar mereka. Namun Gugun tak perlu mendengar perkataan Boma untuk mengetahui keperluan Boma datang ke kelas mereka. Anak itu sudah dapat menebak.
"Huh pinjam melulu beli dong." Serunya saat Manik menyerahkan buku matematika pada Boma.
"Nanti pulang sekolah segera kembalikan ya Bom, soalnnya besok aku ada ulangan matematika. Jadi nanti sore mesti belajar." Pesan Manik.
"Insya Allah, secepatnya aku kembalikan. Sekarang aku kembali ke kelasku dulu Ya. Terima kasih. Assalamu'alaikum."
"Waalakum salam."
Boma  meninggalkan bangku Manik. Ia tak menoleh ke arah Gugun. Ia tak ingin seperti hari Senin yang lalu. Gugun meleletkan lidah kearahnya.
Dengan napas terengah-engah Gugun masuk ke kelasya. Ia beruntung Pak April guru matematika belum datang ke ruangan kelas 3A.  Boma segera menuju tempat duduknya. Ia segera membuka buku matematika yang baru saja dipinjamnya dari Manik anak kelas 3 C.
Manik memang teman Boma yang baik.  Ia selalu  memberi pertolongan pada Boma. Bagi manik mereka memiliki hati seputih salju. Ia tak pernah keberatan bila Boma bermaksud meminjam sesuatu. Sebulan lalu saat Boma harus menunggu ayah memiliki uang lebih untuk membeli buku pelajaran Bahasa Indonesia semester genap. Boma terpaksa meminjam buku Manik Hari Senin, saat di kelas Manik sedang tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia. Buku itu ia kembalikan segera saat pulang sekolah. Hari Rabu Boma meminjam buku lagi, demikian juga hari Jumat, Boma menanti Manik di pintu kelas 3 C untuk meminjam buku. Untung saja ia dan Manik duduk di kelas yang berbeda sehingga jadual pelajaran mereka berbeda.
Suatu ketika Ayah pulang bekerja sambil menenteng sesuatu. Boma merasa sangat senang saat ia mengetahui ayah telah membeli buku bahasa indonesia untuknya. Ia bersyukur pada Allah yang telah menolong ayah hingga mampu membelikan sesuatau yang sangat dibutuhkannya.
Ia pikir masalahnya telah berakhir, namun ketika Pak April mengumumkan bahwa buku matematika baru mesti di beli, Boma merasa lemas.
"Ayah belum bisa membelikan buku yang baru sekarang Nak. Tunggulah bulan depan ya." Kata Ayah saat Boma mengutarakan perinah Pak April. Meskipun sudah menduganya, tetap saja Boma merasa sedih.
"Tapi ayah kata Pak April semua murid harus segera memilikinya. Karena nanti akan banyak tugas dan PR." Lanjut Boma.
"Pinjamlah dulu pada temanmu ya Nak." Jawab Ayah. Dibelainya kepala Boma. Boma tertunduk. I tak tega menatap wajah tua ayahnya. Wajah yang selalu menampakkan rasa bersalah yang dalam, sebab tak mampu memenuhi kebutuhan sekolah Boma dengan baik.
Boma memang harus sabar menunggu. Ia tak mungkin memaksa ayahnya untuk membelikannya buku matematika sekarang juga. Jangankan buku matematika untuk membeli sebatang pensilpun, Boma tak boleh terburu-buru.. Ayah Boma adalah seorang penarik becak. Penghasilannya tidak menentu. Bila mendapat penghasilan yang lebih, ayah mengutamakan membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya bagi Boma dan kedua adiknya.
Boma merasa sangat malu. Ini adalah kali ketiga ia meminjam buku matematika milik Manik. Hari ini pelajaran pertama di kelas 3A adalah matematika. Itulah sebabnya Boma sengaja datang lebih awal agar bisa menemui Manik di gerbang sekolah.
Boma  berdiri di samping pintu gerbang sekolah. Pagi ini tempat itu sangat ramai karena murid-murid mulai berdatangan. Boma membuka matanya lebar-lebar. Ia tak ingin matanya melewatkan kedatangan Manik. Manik biasanya diantar oleh ayahnya. Setiap ada mobil yang berhenti di jalan depan pintu gerbang Boma tak melewatkannya. Boma masih ingat mobil Manik berwarna putih bersih. Boma tak hapal jenis mobilnya. Yang ia tahu bentuknya mirip taksi. Tapi tentu saja bukan taksi lho. Boma hampir terkecoh. Ternyata banyak mobil orang tua murid yang mirip mirip.
"Yang ini insya allah benar." Harap Boma saat sebuah mobil 'taksi' berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Seorang anak laki-laki yang sangat dikenal Boma turun dari mobil.
"Manik !" Boma melambai. Ia berlari mendekati Boma. Meski waktu masuk sekolah masih 30 menit lagi. Boma ingin secepatnya meminjam buku itu. Ia tak ingin seperti hari Kamis yang lalu. Ia datang ke kelas Manik hanya beberapa saat sebelum pelajaran di mulai. Akibatnya Boma terlambat masuk kelasnya dan ditegur pak April. Raut wajah Manik tak seperti biasanya.  Di bibirnya tak ada senyum sedikitpun. Kelihatannya ia tak  tak begitu berharap bertemu  Boma. Sayang sekali manik tak memperhatikannya.
"Manik, pinjam buku Matnya ya. Nanti aku kembalikan." Ujar Boma. Manik diam. Ia memegang erat tasnya. Melihat hal itu Boma mengeraskan suaranya. Ia mengira Manik tak mendengarnya karena suasana di sekitar mereka yang bising.
"Emh…gimana ya Bom. Nanti aku ada test. Aku ingin belajar dulu sebentar sebelum pelajaran dimulai."
Boma terperangah. Ia sama sekali tak menduga Boma akan menolak permintaannya kali ini. Boma jadi salah tingkah. "Oh eh jadi begitu ya…"
"Iya maaf ya."
Cuma sebentar saja Please…! Boma sangat ingin mengatakannya tapi kata-kata itu cuma tertahan di mulutnya. Manik merasa bersalah. Ia buru-buru menawarkan sesuatu pada Boma. "Bagaimana kalau kita belajar bersama di rumahku." Katanya. Tapi buru-buru ia menambahi lagi. "Oh iya iya aku lupa rumah kita berjauhan jadi seperti agak sulit ya."
Boma mengangguk. Ide untuk belajar bersama sebenarnya sudah ada sejak lama. Tapi rumahnya sangat jauh dari rumah Manik.
"Baiklah manik, sekarang aku kembali kekelas dulu ya." Boma meninggalkan manik dengan lesu. Baru beberapa langkah Manik segera menyusulnya.
"Boma aku ingat sesuatu. Aku tahu sebuah toko buku yang sangat murah."
"Dimana ?" tanya Boma penuh harap.
"Di jalan Martadinata. Letaknya di ujung jalan. Kau datanglah kesana. Barangkali saja kau bisa mendapat potongan harga yang cukup besar."
Potongan harga yang besar ? Apakah dengan potongan yang besar itu ayah jadi sanggup membelinya. Manik tak begitu yakin.
"Boma, cobalah saranku. Menurutku kau harus segera punya buku matematika. Bukannya aku tak mau meminjamkannya lagi tapi…kau tidak akan bisa belajar jika tak punya buku." Suara Manik terdengar tulus. Dan kata-kata Manik itu diam-diam Boma membenarkannya.
Toko buku Murah dan Bermutu. Papan nama itu terpampang di sebuah toko. Boma langsung yakin bahwa tempat itulah yang di maksud oleh Manik. Ciri-cirinya persis seperti yang disebutkan Manik. Tokonya tidak terlalu besar. Menghadap ke arah timur. Di samping toko ada pohon yang cukup besar. Dan penjaga toko sekaligus pemiliknya adalah seorang laki-laki bertubuh gemuk.
Boma masuk ke dalam toko. Beberapa orang tampak membuka-buka buku yang dipajang di rak-rak toko. Boma langsung mencari rak tempat memajang buku pelajaran anak SD. Ia belum menemukannya juga setelah beberapa lama. Ia malah bertemu dengan pemilik toko yang dimaksud Manik. Kalau tak melihat sendiri Boma tak akan percaya dengan cerita Manik. Manik bilang kalau disamping bapak gengut pemilik toko selalu ada sekotak kue yang memiliki lubang di tengahnya. Kue bolong ?Apalagi kalau bukan kue Donat.
Boma tersenyum saat Bapak gendut itu sambil membaca buku, memasukkan sebuah Donat ke dalam mulutnya. Kue itu sekejap saja sudah menghuni mulutnya. Belum selesai mulutnya mengunyah sebuah donat yang lain segera menyusul.
"Hemm..bapak itu pasti nggak baca bismillah." Gumam Boma. 
Boma rupanya tak memperhatikan dengan teliti. Ternyata rak yang dicarinya berada dekat pintu masuk.
"Alhamdulillah. Ini dia bukunya." Boma sangat senang telah menemukannya. Ia tak sabar membalik buku itu untuk melihat label harga. Senyum Bona seketika pudar kala melihat harga buku itu masih terlalu mahal baginya.
"Dua puluh satu ribu rupiah." Gumamnya lesu. Ia hampir saja menyalahkan Manik yang menurutnya telah berbohong. Tapi Boma segera ingat saat teman-teman membicarakan harga buku itu. Lisa, Toni , Diah Susan dan teman-teman lainnya rata-rata membeli buku itu seharga dua puluh empat ribu rupiah.
"eang lebih murah sih, tapi tetap saja terlalu mahal untukku." Desahnya.
Boma tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.  Buku itu masih digenggamnya. Ia merasa enggan menaruhnya kembali ke dalam rak. Boma masih berdiri di depan rak buku. Pandangannya tertuju pada seorang anak seusianya yang sejak ia masuk pertama kali hingga sekarang masih berada di tempat yang sama. Anak itu tampak sedang membaca komik. Dari sikapnya yang serius, dan jari-jarinya yang terus membolak-bolak halaman buku, Boma  menduga anak itu akan membaca komik itu sampai selesai.
"Hey kenapa tidak !. "Boma tiba-tiba mendapat ide.
"Sebelum ayah mampu membelikanku buku matematika, aku akan datang kesini untuk membaca dan belajar. Yah benar !"  Mata Boma berbinar-binar. Dilihatnya anak pembaca komik itu. Anak itu hampir menamatkan halaman terakhir.
Keesokan harinya, mulailah Boma menjalankan rencananya. Saat pulang sekolah ia menyempatkan diri datang ke toko buku Murah dan Bermutu. Jarak antara sekolah dan toko itu sebenarnya cukup jauh, tapi demi sebuah buku matematika ia rela menempuh jarak yang jauh meski hanya  dengan berjalan kaki. Meski sangat melelahkan, Boma tak mau menyerah. Ia punya cara supaya tetap semangat.
"Ayo Boma bertahanlah. Kita  segera sampai !
"Ayo Boma bertahanlah. Kita  baca buku matematika."
"Ayo Boma bertahanlah. Daripada kena marah Pak April nanti."
Sambil berjalan, Boma terus bergumam.
Beberapa hari  rencana Boma berjalan lancar. Pengunjung toko buku itu cukup ramai. Boma yang selalu membaca buku sambil jongkok, mesti beberapa kali bergeser bila ada pengunjung yang lewat di dekatnya. Boma tak mau menganggu pengunjung lainnya, apalagi ia cuma numpang membaca di situ. Letak meja kasir agak masuk ke dalam. Pak Gendut tak bisa melihat aksi Boma dari meja kasir, demikian pula sebaliknya.  Sambil jongkok, Boma tak cuma membaca ia  juga Boma mencatat soal-soal PR. Di tengah mencatat ia suka menghetakkan kakinya yang pegal dan kesemutan, akibat jongkok terlalu lama.
Saat siang di hari Rabu. Pulang sekolah Boma langsung menuju ke toko buku Murah dan bermutu. Hari ini Pak April memberi cukup banyak PR. PRnya bisa dilihat di halaman 30 buku matematika.
Boma berbaur dengan pengunjung lainnya. Ia meletakkan tasnya di rak-rak dekat pintu masuk.Meski tak ada aturan meletakkan tas seperti di toko buku lainnya, Boma meletakkan tas di rak dekat pintu. Rak itu tak ada yang menjaga. Boma merasa heran kenapa Pak Gendut tak mempunyai kartawan. Kelihatannya Pak Gendut megerjakan semua urusan sendiri.
Boma mengambil buku matematika dari rak yang biasa. Ia hendak jongkok saat seorang  menyapa. Anak pembaca komik.
"PSSsst…pssst." Anak itu menyapa Boma dengan mendesis. Sepertinya ia tak ingin orang lain mendengarnya.
"Hai." Jawab Boma.
"Aku mau baca komik. Kamu ?"
"Nih !" Boma menunjukkan buku matematika. "Aku mau mencatat, ada PR."
"Hati-hati jangan sampai ketahuan mencatat. Nanti dimarahi yang punya toko ini." Anak itu mengatakan sambil berbisik. Boma mengernyit.
"Memangnya tidak boleh ya ?" tanya Boma bingung.
"Eh tentu saja. Kamu harus beli. Ini kan toko buku bukan perpustakaan. Sudah ya aku pulang dulu."
"Sudah selesai ?"
"Sudah, aku sudah tamat I komik tadi. Minggu depan aku kesini lagi. Sampai ketemu." Anak pembaca komik pergi. Tapi kata-katanya masih terngiang di telinga Boma. Ia jadi ragu-ragu membuka buku itu. Tapi ia harus mencatat soal halaman 30.
"Hai apa yang kau lakukan !" suara itu menggelegar. Boma terkejut, pensil yang dipegangnya terlempar hingga ke dekat kaki Laki-laki gemuk pemilik toko yang telah berdiri di dekatnya. Boma panik, ia merasa sangat bersalah. Maka ketika bapak gendut itu membawanya ke meja kasir Boma menurut saja. Boma mematung di kursi depan kasir. Tak berani sekalipun  mendongakkan kepalanya.
"Tak boleh mencatat di sini. Kau tahu kan."
"Maafkan saya Pak." Suara Boma bergetar. Sambil menunduk sepatunya menggosok-gosok lantai yang berdebu.
Pemilik toko mendengus. "Apa yang kamu catat ?" suaranya sedikit melunak, membuat Boma berani mendongak sedikit." Buku matematika Pak. Hari ini saya punta PR. Saya terpaksa mencatat buku ini Pak karena saya tak punya buku matematika di rumah."
"baiklah, untuk kali ini saya maafkan. Tapi tak boleh diulang lagi. Sekarang kembalikan buku ini ketempatnya. Lalu kau cepat pulang." Boma tak mungkin membantah kata-kata laki-laki itu. Laki-laki itu sudah cukup baik mau memaafkannya. Boma merasa sayang meletakkan buku itu ke tempatnya. Apalagi ia belum selesai mencatat halaman 30. Tiba-tiba Boma kembali ke meja kasir. Laki-laki itu sangat terkejut melihat hal itu.
"Pak saya sangat membutuhkan buku ini. Tapi saya tak punya unag untuk membelinya."
"Kalau begitu kau harus mengembalikannya." Kata laki-laki itu. Boma tak beranjak dari tempatnya, saat ia mengatakan sesuatu yang pemilik toko itu makin terkejut.
"Bolehkah saya membantu bapak di toko ini. ?"
"Tidak, aku tidak memerlukan bantuan."
"Siapa bilang Pak. Lihatlah lantai toko ini kotor sekali. Buku-bukunya juga banyak yang berdebu. Saya akan menyapu lantai dan membersihkan buku-buku di sini asalkan saya boleh membaca buku matematika di sini." Kata Boma makin berani.
"Wah kau ini keras kepala. Tapi ..baiklah. Saya akan memberimu uang 3000 rupaih setiap kali memebersihkan tempat ini. Jadi…."
"Setelah tujuh hari aku bisa membeli buku ini ya Pak !" pekik Boma.
"Hmm…kau ternyata cukup pintar."
 Boma merasa sangat senang.  Ia sangat berterima kasih pada pemilik toko yang ternyata sangat baik hati.
Setiap pulang sekolah, Boma pergi ke toko Buku Murah dan bermutu. Ia melakukan pekerjaannya  dengan penuh semangat. Boma menyapu setiap jengkal lantai dengan bersih, melap buku-buku yang berdebu. Pekerjaan Boma membuat toko Murah dan bermutu menjadi lebih bersih dan indah. Ia tak ingin mengecewakan bapak yang baik hati itu. Pemilik toko yang baik itu bernama Pak Hamid. Pak Hamid ternyata seorang yang sangat taat beribadah. Setiap saat sholat dhuhur, beliau menutup tokonya lalu mengajak Boma sholat berjamaah di langgar seberang jalan. Boma merasa sangat senang. Setiap selesai sholat ia selalu berdoa dan bersyukur pada Allah.
Siang itu setelah mengganti baju seragamnya, Boma menyapu lantai dengan hati-hati. Ia tak ingin debu-debu terbang hingga membuat pembeli terbatuk-batuk. Tak terasa ia sudah menyelesaikan tugasnya hari itu, Tangannya gemetar saat Pak hamid mengulurkan uang tiga ribu tupiah padanya.
"Ini hari kelima Boma. Berarti dua hari lagi kau bisa membawa pulang buku matematika itu. "
"Tentu Pak."
"Simpan baik-baik jangan buat jajan ya."
"Insya Allah Pak."
"Sekarang kau boleh Pulang. Istirahatlah. Kau tetu lelah sekali." Seperti biasa Pak Hamid membekali Boma dengan sebungkus nasi dan segelas air mineral. Kebaikan Pak Hamid membuat Boma terharu.
Boma berjalan pulang dengan riang. Ia tak sabar ingin segera tiba di rumah dan memasukkan uang tiga ribu rupiah itu ke dalam celengan kaleng susu yang dibuatnya bersama ayah.
Lalu lintas sangat ramai saat itu. Suasana terasa tidak nyaman, apalagi matahari bersinar dengan  garang. Boma berteduh di bawah pohon di pinggir jalan. Ia ingin sejenak melepas lelah. Seorang ibu tua membawa keranjang plastik. Ibu itu menghampiri Boma.
"Beli kue donat Nak ? Murah hanya lima raus rupiah saja." Ibu tua membuka tutup keranjang. Bertumpuk-tumpuk kue donat tertata rapi di keranjang. Boma menggeleng, meski ia punya uang untuk membeli donat itu, ia tak ingin membelanjakannya selain untuk membeli buku matematika.
"Maaf Bu, masih kenyang." Jawab Boma memberi alasan. Ibu tua itu tak memaksa, meski jelas sekali wajahnya kecewa. Ibu itu beranjak meninggalkan Boma. Dibawanya kembali keranjang itu. Tiba-tiba Boma merasa iba.
"Bu, saya beli dua." Boma mengeluarkan uang seribu rupiah dari dalam saku bajunya. "Oh alhamdulillah Terima kasih ya Nak." Ibu itu segra memberi boma dua buah donatnya yang sudah tidak hangat lagi Sepeninggalk ibu itu Boma memandangi dua buah kue donat di kantuk plastik. Dengan membeli kue itu berarti ia tak bisa lagi membeli buku matematika dalam tujuh hari.
"Aku harus bekerja satu hari lagi pada Pak Hamid." Gumam Boma.
Boma hendak meneruskan perjalanan. Tiba-tiba ia kembali teringat sesuatu,
"Hei bukankah Pak hamid penggemar kue Donat. Biar kuberikan saja kue ini sebagai tanda terima kasihku padanya." Pikir Boma. "Tapi bagaimana kalau Pak Hamid marah karena aku membelanjakan uang ini untuk membeli donat ?" Ah biarlah, aku rela kok bekerja satu hari lagi pada pak hamid."
Tekad Boma sudah bulat ia berlari kembali ke toko. Toko sedang sepi. Melihat kedatangan Boma tentu saja Pak Hamid terkejut.
"Boma kenapa kembali lagi kemari ?"
"Eh anu Pak, Saya ingin memberikan kue ini pada bapak." Boma mengulurkan kantung plastik ditangannya. Pak Hamid sangat terkejut mengetahui isinya adalah dua buah kue donat.
"Bagaimana kau mendapat kue ini ?"
"Saya membelinya pak…dari uang yang bapak berikan pada saya."
"Kenapa kau membelinya ?"
"Saya kasihan pada ibu tua yang menjual kue itu Pak.
"Tapi dengan begitu kau tidak bisa membawa buku matematika itu dua hari lagi."
"Ah tidak apa pak. Saya rela bekerja sehari lagi pada Bapak. Bapak mau kan menerima kue ini. Saya tahu bapak senang kue donat."
Pak Hamid tersipu.
Boma beranjak meninggalkan toko Pak Hamid. Ketika sampai di pintu keluar, tiba-tiba Pak hamid memanggilnya.
"Nak, bawalah buku matematika itu pulang sekarang."
Boma sangat terkejut. "Tapi Pak…uang saya belum cukup untuk membelinya."
"Sudahlah,  anggap saja aku memberikannya padamu. Seperti kau memberi kue ini padaku. "
"Lalu uang pemberian bapak ?"
"Simpan saja, barangkali, besok atau lusa gurumu di sekolah menyuruhmu membeli buku baru lagi. Tapi kau harus membelinya di sini lho. He…he…"
Pak hamid dan Boma tertawa bersama. Dengan langkah kilat Boma mengambil buku matematika dari rak.
Lalu lintas masih ramai. Mataharipun masih bersinar dengan garang. Tapi Boma tak ingin berteduh lagi di bawah pohon. Ia ingin cepat tiba di rumah dan menunjukkan buku matematika yang baru didapatkannya pada ayah tercinta.

Obat Batuk Untuk Nenek

Kanti berlari paling depan. Menyusul dibelakangnya  Rumi dan Ari. Kanti berlari dengan lincah. Sesekali ia melompati genangan air yang muncul akibat hujan tadi malam. PYOK ! Bunyi  yang terdengar saat kaki Kanti yang pendek gagal melewati genangan air yang lebar. Air bercipratan kemana-mana. Mengenai Kanti juga Rumi dan Ari. Rumi dan Ari tak kesal mereka malah tertawa gembira.
Wajah Kanti berseri-seri. Apotik Sejahtera yang menjadi tujuannya sudah ada di depan mata.  Sore itu apotik Cempaka ramai pengunjung. Mereka semua orang dewasa. Kanti menyelinap dengan penuh semangat diantara tubuh-tubuh orang dewasa yang mengantri. Badan Kanti yang pendek dan kecil membuat gadis itu dapat melakukannya dengan mudah. Rumi dan Ari tak mengikuti apa yang di lakukan Kanti. Mereka cuma berdiri di pintu apotik.
   Kanti mengalami kesulitan saat ia berhasil mencapai etalase tempat memajang aneka macam obat. Kotak kaca itu terlalu tinggi untuknya, sehingga ia tak bisa bertatap muka langsung dengan  penjaga apotik. Kanti tak kurang akal. Ia mengulurkan tangan kanannya yang menggenggam beberapa  uang receh ke atas. Setelah itu ia berkata lantang sambil tangan kirinya mengetuk-ngetuk kaaca etalase.
"Mbak beli obat batuk sirup."
Penjaga apotik sedang sibuk sehingga mengabaikan teriakan Kanti. Kanti mengulang lebih dari 3 kali untuk mendapat perhatian penjaga apotik.
Seorang wanita muda berkacamata melongok dari balik etalase. Kanti tersenyum saat penjaga apotik itu menanyakan keperluannya dengan ramah.
"Mau beli obat batuk sirup mbak untuk nenek saya."
"Ehm obat batuk sirup yang mana ya ?" tanya penjaga apotik itu.
Kanti jadi bingung.
"Nenekmu pasti memberitahumu kan ?"
Kanti makin bingung.Neneknya tak menyebutkan nama obat yang harus dibelinya. Nenek cuma menyerahkan uang tanpa berkata apa-apa. Biasanya Kanti selalu banyak bertanya ketika nenek menyuruhnya. Tapi kali ini Kanti tak bisa melakukannya, karena sejak kemarin lebih banyak batuk yang keluar dari mulut nenek dari pada kata-kata nenek. Kanti jadi tak sampai hati bertanya banyak hal pada nenek.
"Ehm..obat batuk apa saja deh mBak, ini uangnya." Kanti memindakan uang receh di tangannya ke telapak tangan mbak penjaga toko. Dahi mbak yang ramah itu seketika mengernyit. Matanya menatap uang receh itu dari balik kacamatanya yang bergagang coklat muda. Wajahnya yang ramah kini berubah bingung.
"Mana obatnya mbak ?" tanya Kanti tak sabar. Ia heran penjaga apotik itu hanya berdiri saja tanpa mengambil yang ia perlukan,
"Maaf ya dik. Apa kau tak membawa uang lagi. Dengan uang ini kau tak bisa membawa pulang obat batuk untuk nenekmu." Mbak penjaga toko itu menjajar uang logam seratus rupiah sebanyak lima buah itu di atas telapak tangannya. Ia seolah-olah tak percaya kalau ada seorang anak kecil membeli obat batuk hanya dengan membawa uang lima ratus rupiah.
"Apa harga obatnya nggak bisa diturunkan mbak. Nenekku sangat membutuhkannya." Kanti memohon. Mbak penjaga itu menggeleng. Ia membuka genggaman tangan Kanti lalu menaruh kembali uang recehan itu ke dalamnya.
"Bawalah pulang kembali. Minta nenekmu memberi uang lebih." Katanya sambil beranjak meninggalkan Kanti. Kanti cemberut. Ia tak segera beranjak dari depan etalase, seolah tak percaya perkataan penjaga apotik, matanya mengelana melihat ke deretan obat batuk sirup yang dipajang di etalase. "Lima ribu rupiah yang paling murah," desahnya. Rumi dan Ari  melambai  memanggil Kanti.
"Uangnya kurang ya." Tanya Rumi. Sejak tadi ia memang khawatir uang Kanti nggak akan cukup untuk membeli obat batuk sirup untuk  neneknya.
"Bukan. Kurasa bukan begitu. Toko ini saja yang menjual obat terlalu mahal." Jawab Kanti setengah menggerutu.
"Pulang dulu yuk. Minta nenekmu memberi uang lagi." Saran Ari. Tapi Kanti menggeleng. Ia tahu di dompet nenek sudah tak ada uang lagi.
"Aku akan ke apotik yang lain. Pasti ada yang menjual obat yang murah."
Rumi dan Ari berdiri mematung.
"Kalian ikut tidak ?" tanya Kanti tak sabar. Ia memang harus segera membawa pulang obat batuk karena nenek menunggunya di rumah. Rumi dan Ari mengangguk. Kendati tak yakin, mereka tak ingin membiarkan Kanti mencari obat seorang diri.
Ketiga sahabat itu berlari lagi. Kali ini mereka berhenti di sebuah apotik yang jauh lebih besar dari apotik Cempaka. Apotik itu selain besar, bangunannya juga megah. Para pembeli obatnya hampir semuanya datang dengan mobil-mobil mengkilat. Rumi dan Ari saling berpandangan. Mereka tak yakin apotik sebesar ini punya obat batuk seharga uang recehan Kanti. Tapi mereka tak berkata apa-apa.
Kanti keluar tak lama kemudian. Wajahnya sedih dan uang lima ratus rupiah masih ada di tangannya.
Gerimis telah menjelma menjadi hujan deras di luar sana. Kanti menyaksikan air hujan yang tercurah rapat dan cepat itu dari balik jendela rumahnya. Dibelakang punggungnya butik tok tok tok terdengar makin keras dan ramai. Bunyi-bunyian itu berasal dari air hujan yang menerobos masuk lewat atap yang bocor dan jatuh di atas baskom baskom yang ditempatkan nenek di bawahnya.
Tot tok tok tok. Bunyi itu terdengar di beberapa tempat. Di belakang punggung Kanti, di kamar mandi, di dapur sempit nenek bahkan di kamar dimana nenek terus terbatuk-batuk hingga saat ini. Udara yang dingin membuat batuk Nenek makin menjadi-jadi. Kanti sedih sekali setiap kali melihat nenek berusaha tetap kuat melawan batuk yang membuat tubuhnya melemah. Gara-gara tubuhnya yang melemah nenek harus berhenti sementara waktu dari pekerjaannya sebagai buruh cuci baju.
"Kanti !" gadis kecil itu terkejut. Ia memang sedang termenung, sehingga suara yang lembutpun akan sanggup membuatnya terkejut. Nenek telah berdiri dibelakang Kanti. Nenek terbatuk-batuk lagi untuk beberapa saat.
"Apa yang kaupikirkan ? Apa kau masih memikirkan obat batuk yang tak terbeli itu." tanya nenek dengan suara yang parau. Kanti hampir saja menggeleng. Tapi tak ada gunanya berbohong pada nenek. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Nenek adalah orang yang mengasuhnya. Jadi Nenek hapal betul dengan tabiat Kanti.
"Iya nek." Kanti mengangguk.
"Tak usah khawatirkan itu lagi."
 "Tapi bagaimana nenek bisa sembuh kalau tak minum obat." Kata kanti.
"Yang menyembuhkan penyakit adalah Allah. Nenek akan berdoa supaya Allah memberi kesembuhan yang cepat." Nenek terbatuk-batuk lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya sampai tubuhnya terbungkuk-bungkuk. Kanti makin iba melihat keadaan nenek. Dalam hati ia berpikir mungkin Allah sengaja memberi sakit batuk pada nenek, supaya nenek punya kesempatan untuk beristirahat. Terbayang di matanya bagaimana kerasnya nenek bekerja selama ini. Dari pagi hingga petang bekerja mencuci baju-baju milik orang lain. Nenek tak pernah mengeluh ketika melakukannya.  Semua itu dilakukan nenek untuk mencari nafkah dan menyekolahkan Kanti.
"Aku harus melakukan sesuatu untuk nenek. Harus !" tekad Kanti dalam hati.

 Kati merasa lega. Cuaca pagi itu cukup bersahabat setelah semalam hujan terus-terusan mengguyur. Matahari mengintip malu-malu dari balik awan. Sinarnya walaupun sedikit terhalang, mampu menghangatkan udara pagi. Hari ini adalah hari minggu. Kemarin Kanti telah berjanji akan bertemu dengan Rumi dan Ari. Kemarin mereka bertiga telah menyusun sebuah rencana.
Rumi dan Ari telah menunggu Kanti di bawah sebatang pohon Angsana. Rumi membawa baskom plastik yang ditutupi selembar kain demikian pula dengan Ari. Kanti tersenyum mendekati kedua sahabatnya. Ia membuka sedikit kain yang menutupi baskom Rumi dan Ari. Asap mengepul dari pisang  goreng yang masih hangat.  Sudah sejak lama Rumi dan Ari berjualan pisang goreng. Mereka melakukankannya setiap hari Minggu,  sekedar sebagai tambahan uang jajan dan juga membantu menringankan beban orang tua.
"Ayo kita ke rumah Bu Sabar. Kita lihat apa yang beliau punya untukmu." Ajak Rumi. Rumi dan Ari membawa Kanti ke rumah Bu Sabar. Bu sapariyah adalah seorang pedagang makanan yang baik hati. Beliau suka memberi kesempatan pada siapa saja yang membutuhkan untuk menjajakan makanannya. Telah banyak anak-anak yang ditolong oleh Bu Sabar. Anak-anak itu berkeliling menjajakan makanan buatan Bu Sabar. Bu Sabar akan memberi upah sebanyak makanan yang terjual.
"Tinggal ini yang tersisa Nak." Kata ibu berwajah teduh itu. Disodorkannya sebuah termos berwarna hijau pada Kanti. Kanti terkejut saat menyentuh dinding termos yang dingin. Ia makin terkejut saat membuka isinya. Beberapa buah es sirup merah di dalam kantung-kantung plastik.
"Cuaca dingin dan  es sirup, bagaimana mungkin ?" desah Kanti. Ia mulai resah tak yakin ia akan mampu menjual es sirup di saat cuaca sedang dingin-dinginnya dan hujan yang terus menerus mengguyur.
"Mmaafkan saya Bu. Apakah saya tidak bisa menjual makanan yang hangat seperti teman-teman lainnya ?"Kanti bertanya dengan ragu-ragu. Ia khawatir Bu Sabar akan marah padanya. Namun di luar dugaannya Bu Sabar malah  tersenyum .
"Cuaca cerah adalah rahmat dari Allah, hujan juga rahmat dari Allah. Jadi tidak ada bedanya bukan. Pertolongan Allah selalu datang kapan saja tanpa mengenal waktu. Kau hanya perlu berusaha dengan seungguh-sungguh."
Kanti terdiam.
"Menurut temanmu kau membutuhkan uang untuk membeli obat buat nenekmu yang sangat kau sayangi. Nah gunakanlah itu sebagai  penambah semangatmu."
Kata-kata Bu Sabar membangkitkan semangat Kanti. "Baiklah Bu, akan saya coba." Kata Kanti. Setelah Bu Sabar menjelaskan keistimewaan sirup merah Stoberi buatannya, Kanti bergegas meninggalkan rumah Bu Sabar dan mulai menjajakan sirup merah stroberi. Ia berjalan sendiri. Rumi dan Ari telah berkeliling sejak tadi.
Baru beberapa saat  berkeliling, gerimis telah datang. Kanti membuka payung yang dibawanya dari rumah. Tangan kanannya memegang termos, tangan kirinya memegang payung. Kanti melihat seorang bapak berteduh di teras toko-toko kecil, menunggu angkutan kota yang setiap saat lewat di jalan itu.
"Es sirup Stroberi Pak ! Murah seribu rupiah saja." Kanti membuka tutup termos dan menunjukkannya pada bapak itu. Bapak itu cuma melihat sekilas, lalumerapatkan kedua tangannya seolah sedang kedinginan. Seorang ibu berdiri tak jauh dari bapak tadi. Kanti melakukan hal yang sama dengan sebelumnya.
"Es sirup ini stroberi Bu."  Namun ibu tadi cuma menggeleng. Beberapa anak laki-laki berjalan di atas trotoar. Mereka nggak memakai payung rupayan sengaja berhujan-hujan.
"Es sirup stroberi." Ujarnya pada anak-anak itu. Seorang anak laki-laki dengan baju basah kuyub melihat Kanti sambil tertawa meledek. "He..he..nggak salah nih. Seharusnya kau menjual minuman yang hangat. Dingin dingin begini jualan es. Ihh…siapa yang mau beli." Anak-anak yang lain juga ikut tertawa.
Kanti menggigit bibir. Kata-kata anak-anak tadi sedikit melemahkan semangatnya. Kanti berjalan lagi di trotoar. Mobil dan motor di jalan melaju dengan kencang. Hujan masih gerimis. Setiap orang yang dijumpainya ditawarinya es sirup merah. Tapi sejauh ini tak ada satupun yang berniat membeli. Es sirup di termos masih tetap berjumlah 11 buah. Yang sepuluh untuk dijual, sisanya adalah bagian untuk Kanti. Kanti belum menyentuh sedikitpun es sirup bagiannya. Kanti pun tak punya sedikitpun keinginan untuk meminumnya. Ia malah membayangkan segelas teh hangat yang biasa dibuat  nenek untuknya di kala hujan.
"Aku sendiri malas meminumnya apalagi orang lain." Batinnya mulai membenarkan olok-olok anak-anak tadi. 
 Kanti berteduh di bawah sebatang pohon yang besar.  Batang pohon itu begitu besar, sehingga kalau Kanti melingkarkan kedua tangannya di sekelilingnya, kedua tangannya tidak akan bertemu. Kanti  bersandar lesu. Ia hampir putus asa. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Tadi sebelum  berangkat menjajakan es sirup ia belum berdoa.
"Kenapa aku bisa lupa." Sesal Kanti. Berdoa sebelum melakukan sesuatu selalu ia lakukan. Nenek yang mengajarinya melakukan hal itu. Kanti menundukkan kepala."Ya Allah berikanlah kemudahan padaku untuk menjual es sirup ini.agar aku bisa membeli obat sirup untuk nenek. Amin.
Seorang bocah kecil berdiri tak jauh dari Kanti. Kanti baru melihat bocah itu sesaat setelah ia selesai berdoa. Bocah laki-laki itu memandang Kanti dan termosnya bergantian. Begitu terus berulangkali, membuat Kanti keheranan. Tiba-tiba bocah itu bergerak ke balik batang pohon yang besar itu. Sesaat kemudian ia menarik tangan seorang gadis yang seusia dengan Kanti. Rupanya gadis itu juga berteduh di bawah pohon itu. Tepatnya di sisi batang yang lainnya.
"Adikku memintaku untuk bertanya padamu. Apa yang kau jual itu ?" tanya anak perempuan itu pada Kanti. Gadis itu membawa keranjang kecil di tangannya.
"Es sirup Stroberi." Jawab Kanti tak bersemangat.
"Boleh kami melihatnya ?" tanya gadis ragu-ragu. Kanti membuka tutup termosnya. Gerakannya tak bersemangat. Ia tak yakin kedua kakak beradik di hadapannya itu akan membeli es sirupnya.
"Hm..kelihatannya enak. Berapa satu ?"
"Seribu rupiah." Jawab Kanti. Gadis itu tertunduk. Kemudian ia berbisik ke telinga adiknya. Tiba-tiba bocah laki-laki itu seperti mau menangis. Ia merengek-rengek pada kakaknya. Gadis itu kelihatan bingung.
"Kenapa ?" Kanti ingin tahu.
"Adikku ingin membeli es sirupmu tapi…." gadis itu ragu-ragu lagi."Kami hanya punya uang lima ratus rupiah."
Kanti terdiam. Ia merasa kasihan pada bocah cilik itu dan kakaknya yang tampaknya tak kuasa untuk membujuknya.
"Kamu tak perlu membeli." Kata Kanti mengagetkan gadis kecil itu. "Ambilah ini. Satu es yang ada di termos ini adalah bagianku." Kanti menyodorkan sekantong plastik es sirup. Kini dalam termos itu ada 10 buah es sirup.
"Hm..enak… enak !" bocah itu berteriak kesenangan. Kanti sampai terkejut mendengarnya. Gadis kecil itu ikut mencicipinya, matanya langsung berbinar. "Wah memang benar-benar enak."
"Sungguh ?" tanya  Kanti tak yakin. Gadis itu terheran-heran.
"Jadi kau belum pernah meminumnya. ?" Tanya gadis itu tak percaya. Kanti menggeleng lesu."Ini hari pertamaku berjualan es sirup. Dan tak seorangpun yang membelinya. Gadis kecil itu segera menyodorkan es sirup yang tadi diminumnya. Kanti meminum seteguk. Meminum es sirup itu serasa sedang mengunyah buah stoberi yang manis dan segar. Subhanallah, es sirup stroberi itu benar-benar segar dan nikmat.
"Tapi tak seharusnya dijual di musim hujan begini kan." Ucap Kanti lesu.
"Siapa bilang, aku tak keberatan meminumnya biarpun berada di tengah hamparan salju sekalipun." Ujar gadis itu bersemangat.
"Hanya kau yang berkata seperti itu." sahut Kanti.
"Itu karena mereka belum merasakannya. Kau hanya perlu meyakinkan orang lain bahwa rasa es stroberimu sangat enak." Lanjutnya. Gadis itu kemudian memperkenalkan diri. Namanya Tami. Ia seorang penjual permen. Tami menunjuk pada serombongan anak di seberang jalan. Anak-anak itu di temani ibu mereka.
"Kami baru saja menjual permen pada mereka. Tahu tidak mereka semua memilih permen rasa stroberi. Kurasa itu adalah kesempatanmu. Ayo Cepatlah ke sana sebelum mereka pergi."
Kanti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Setelah berpamitan pada Tami dan adiknya, Kanti segera menuju ke seberang jalan. Tapi anak-anak itu keburu beranjak sebelum Kanti sampai ke tempat mereka. Kanti mempercepat langkahnya, beruntung hujan telah reda, hingga Kanti tak perlu direpotkan lagi oleh payungnya.
"Es sirup stroberi. Segar dan nikmat." Seru Kanti. Ia kini mulai berlari. Khawatir tak akan mampu mengejar anak-anak yang berjalan cepat jauh di depannya.
"Es sirup sroberi." Kanti terus berteriak. "Es sirup Stroberi…es sirup stroberi"
Tiba-tiba salah seorang dari anak-anak itu menoleh. Anak itu berkata sesuatu hingga semua anak akhirnya berhenti.
"Es sirup stroberi. Rasanya enak sekali. " Seru Kanti dengan penuh semangat. Ibu anak-anak itu menggeleng. Tapi salah seorang anak laki-laki sedikit memaksa.
"Baiklah satu saja ya." Kata ibu tadi melegakan hati Kanti. Kanti mengambil sekantung es sirup. Ibu tadi megulurkan selembar uang seribu rupiah.
"Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah." Seru Kanti berulang- ulang. Ia hendak meninggalkan tempat itu ketika tiba-tiba didengarnya suara ribut. Rupanya anak-anak itu berebut minum es sirup stroberi.
"Hai Dik kemarilah !" panggil ibu tadi. Kanti mendekat dengan hati berdebar
"Ibu beli empat lagi ya. Rupanya anak-anak sangat menyukai es sirup stroberimu."
"Oh iya bu." Kanti membuka tutup termosnya dengan bersemangat. Ia mengeluarkan lagi empat kantung es.
Keberhasilan itu membuat Kanti makin bersemangat. Dengan semangat yang menyala ia terus berjalan menjajakan es sirup stroberinya.
"Es sirup stroberi segar. Nikmat rasanya. Cobalah, pasti tak menyesal.Gulanya dari gula asli. Sangat menyehatkan." Kanti makin lihai menawarkan dagangannya.
Kanti berjamaah sholat Ashar di rumah ibu Sabar . Ia merasa bahagia karena telah berhasil menjual semua es ditermosnya. Bu Sabar memberi Kanti uang 5000 rupiah sebagai hasil jerih payahnya. Ibu yang baik itu menepuk pundak Kanti berulang-ulang. "Ibu tahu, kami pasti bisa melakukannya Nak."
Kanti berlari riang. Selembar uang lima ribu rupiah menghuni kantungnya. Kanti tak langsung pulang. Ada hal yang harus dikerjakannya. Apotik Cempaka sedang sepi pengunjung.  Seorang penjaga apotik menyambut kedatangan Kanti. Ia memakai kacamata dengan gagang coklat muda. Kanti  mengenali wajah penjaga apotik yang ramah itu, demikian pula sebaliknya.
"Kau masih mau membeli obat batuk sirup untuk nenekmu ?"tanya penjaga apotik.
"Iya !" jawab Kanti cepat.
"Tapi tak ada obat batuk yang harganya lima ratus rupiah. Ingat itu Dik."
"Iya aku tahu. Aku membawa uang lebih sekarang." Ujar Kanti riang.
"Oh ya baiklah. Obat mana yang kau pilih ?"
Kanti menunjuk sebotol sirup obat batuk berbungkus karton hijau. Botol obat batuk itu masih berada ditempat yang sama saat Kanti pertama kali melihatnya.
"Yang ini Kak. Tolong dibungkus ya." Kanti mengeluarkan uang kertas lima ribuan dari kantung bajunya. Lalu menyerahkan dengan bangga  pada penjaga apotik.
"Baiklah. Semoga nenekmu cepat sembuh."
Kanti  mendekap erat kantong plastik berisi obat batuk sirup untuk nenek.  Ia ingin cepat tiba di rumah dan menyerahkan obat itu pada nenek tercinta  @@@

Tuesday, February 9, 2010

Penggaris Yang Patah

Bu Auli belum datang !  Riko memastikan hal itu dengan melihat lorong kelas yang sepi. "Asyik, kesempatan nih !"serunya senang. Ia kembali ke bangku. Mengeluarkan tas kain yang ditaruhnya di bawah bangku. Toni kawan sebangku Riko geleng-geleng kepala. Ia tahu apa isi tak kain itu.
"Jangan Rik !" Toni memperingatkan. Tapi Riko tak mendengarkan. Ia terus saja membuka ikatan tas kain itu dan mengeluarkan sepasang sepatu roda. Dengan cepat Riko mengganti sepatu hitamnya dengan sepatu roda. Kemudian dengan sekali hentak ia sudah berdiri tegak di atas sepatu rodanya.
"Asyiiiik !" Riko meluncur. Melewati sela-sela bangku yang  sempit. Riko sangat mahir berrmain sepatu roda. Makanya iatak kesulitan ketika harus melewati jalan yang sempit. "Minggiir !" teriaknya pada anak-anak yang menghalangi jalannya. Suasana kelas jadi heboh. Anak-anak protes tak suka dengan tindakan Riko.
"Berhenti Rik. Kulaporkan Bu Guru nanti." Ancam Kiki, ketua kelas.
Riko mencibir.
"Iya nih mengganggu saja. Main di luar sana biar dimarahi kepala sekolah."tambah Devi.
"Suka-sukaku…"Riko malah meledek.
"Rik jangan gitu dong !" teriak Alfa saat Riko iseng menarik pensil yang sedang dipakai Alfa." Nih tangkap !" Riko melempar kembali pensil itu ke arah Alfa. Anak-anak akhirnya memilih tak menggubris kelakuan Riko. Mereka membiarkan saja anak yang suka bikin ulah itu sibuk dengan sepatu rodanya. Suasana kelas jadi ramai karena anak-anak ngobrol sambil menunggu kedatangan Bu Aulia yang terlambat hampir 10 menit.
Beberapa anak bergerombol di bangku Rini. Rupanya Rini memiliki sesuatu yang menarik perhatian teman-temannya.
"Wah bagus sekali Rin." Kata Sinta
"Iya. Kalau kau gerak-gerakkan gambarnya bisa berubah." Rini menggerak-gerakkan sebatang penggaris di tangannya. Mula-mula penggaris itu bergambar lima negara asean, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailan. Ketika penggaris itu dimiringkan sedikit ke atas gambarnya jadi terlihat seperti bergerak-gerak.
"Wah penggarisnya ajaib !" Rani kagum "Kau beli di mana ? Pasti mahal  kan ?" Rini tersipu. "Nggak mahal kok. Aku beli tiga ribu rupiah, di toko kecil dekat pasar."
Tiba-tiba dari kerumunan anak muncul wajah Riko. Rupanya Riko tertarik dan mendorong anak-anak yang bergerombol agar memberi jalan untuknya.
"Apaan Rin ?" tanya Riko.
"Penggaris !" jawab Rini. Ia hendak memasukkan kembali penggaris itu ketika Riko menyatakan ingin meminjamnya. Rani dan Vivin memberi isyarat agar Rini tak meminjamkan penggarisnya pada Riko.
"Sebentar saja." bujuk Riko. Rini bingung. Ia sesungguhnya tak keberatan meminjamkan penggaris itu pada siapa saja. Tapi pada Riko…
"Baiklah, tapi segera kembalikan ya."kata Rini disambut pekik senang Riko. Sebentar kemudian Riko sudah mengacung-acungkan penggaris Rini sambil berputar-putar di depan kelas. "Penggaris bagus nih, siapa mau lihat …!" teriaknya tapi anak-anak tak menggubris. SWING ! Riko meluncur dari sisi dinding yang satu ke sisi lainnya di depan kelas. Rini cemas memperhatikan kelakuan Riko itu. Ia cuma bisa menunggu sampai Riko mengembalikan penggaris itu padanya. Pintu kelas dibuka. Anak-anak hening seketika.  Riko yang saat itu posisi badannya sedang membelakangi pintu takl melihat Bu Aulia yang telah berdiri di pintu. Sewaktu membalikkan badan, Riko sangat terkejut. Mata bu Aulia yang memadangnya tajam, membuat ia kehilangan keseimbangan. BRUKK ! Riko menabrak papan tulis.  Badannya oleng. Tangan kanannya terlebih dahulu mengenai lantai. Penggaris yang berada digenggamannya menghantam lantai dengan keras. KLEK ! seisi kelas medengar suara itu.
Malam sudah larut .Mata Riko mengantuk sekali. Tapi ia tak bisa tidur. Ia cemas memikirkan hari esok. Tadi di sekolah Bu Aulia menghukumnya karena main sepatu roda di dalam kelas.  Sewaktu ia menerima hukuman menulis 100 kali, teman-teman bersorak. Tak ada seorangpun yang bersimpati pada Riko. Diam-diam Riko merasa terkucil. Tapi bukan hal itu yang paling merisaukannya. Hari ini ia telah membuat penggaris Rini patah. Riko ingat, selama ini Rini adalah anak yang paling baik pada Riko di kelas. Tidak peduli seberapa sering ia mengganggunya Rini tetap baik.
"Duh seharusnya aku tak melakukannya pada Rini !" sesal Riko. "Aku harus mengganti penggarisnya yang patah !"
Keesokan harinya sebelum berangkat ke sekolah.
"astaghfirullah, Riko kau mematahkan penggaris milik temanmu ?" ibu tampak marah.
"Iya bu." Riko tak berani memandang mata ibu. Ia mendengar ibu menyebut kembali daftar panjang kesalahannya dengan kepala tertunduk.
"Dulu kau merusakkan mobil remote Hindun, sebulan yang lalu, ibu harus mengganti kacamata Pak Joni yang pecah karena kau tabrak sewaktu main sepatu roda. Minggu lalu, guci tante Endah kau pecahkan, sekarang…"
"Maafkan Riko Bu. Riko minta uang buat mengganti penggaris itu. Nggak mahal kok Bu cuma tiga ribu rupiah."
Ibu geleng-geleng kepala.
"Ayolah Bu, sekali ini saja. Aku janji nggak akan menyusahkan ibu lagi." Riko merajuk. Ia mulai mengeluarkan  senjata andalannya. Riko yakin Ibu akan memenuhi permintaannya pada akhrinya. Tiba-tiba ibu berkata."Riko kau bilang harga penggaris itu cuma tiga ribu saja."
"Benar Bu. Murah kan. Ayo Bu minta uangnya yah." Mata Riko berbinar-binar. Tapi ibu malah melanjutkan kata-katanya dengan serius.
"Karena harganya cuma tiga ribu, maka…ibu memintamu menggantinya dengan uangmu sendiri."
"Bu !" Riko terperanjat.
"Sebagai sanksinya ibu akan memotong uang sakumu dari seribu rupiah menjadi lima ratus rupiah saja selama 1 minggu."
"Tapi Bu aku tidak akan  bisa mengganti penggariss itu kalau ibu memotong uang sakuku."
"Kenapa tidak, kalau kau bisa berhemat, paling cepat dalam 6 hari kau akan bisa mengumpulkan uag tiga ribu rupiah."

Riko jera membawa sepatu roda kesekolah. Ia tak mau semakin dijauhi teman-temannya. Apalagi teman-temannya masih sering membicarakan peristiwa patahnya penggaris Rini dan meyalahkan Riko.
"Rini." Riko mendatangi bangku Rini."Maafkan aku ya." Ujar Riko mengagetkan Rini. 
"Kau masih marah padaku ya ?" tanya Riko melihat Rini tak bereaksi.
"Kau tahu Riko. Aku mesti menabung selama sebulan supaya bisa membeli penggaris itu. Uang sakuku tidak seberapa. Aku hanya bisa menyisihkan seratus rupiah setiap hari."
"Maaf deh Rin. Aku janji akan menggantinya."
"Kau akan minta uang orang tuamu kan ?"
"Tidak aku akan mengganti pakai uangku sendiri tapi beri aku waktu beberapa hari ya."  Tegas Riko.
"Sungguh ?" mata Rini bercahaya, terbayang akan segera mendapat penggarisnya lagi. "Iya. Aku janji."

Monday, January 18, 2010

Penyelamat Kucing

Azka melambaikan tangan pada beberapa temannya. Mereka berpisah di perempatan Jalan Kusumabangsa. Teman-teman Azka mengambil jalan sebelah kiri, Azka berbelok ke kanan. Rumah Azka ada si sebelah kanan jalan. Tepatnya satu kilometer dari perempatan. Azka berjalan santai. Ia sedikit merapat ke teras-teras pertokoan agar bisa turut menikmati keteduhannya. Siang itu matahari memang bersinar sangat terik.  Seragam sekolah Azka sedikit basah oleh keringat. Beberapa pemilik toko menyapa gadis itu, mereka sudah akrab dengan  Azka yang selalu lewat di jalan itu setiap pulang sekolah.
"Baru pulang Az ?" sapa Bu Teti pemilik toko jilbab dan baju muslim ramah.
"Iya bu." Azka berhenti sebentar untuk sekedar melempar senyum. Azka kembali berjalan. Di sepanjang jalan kusuma bangsa banyak orang yang berdagang. Mereka membuka warung, toko, tempat fotokopi, wartel dan sebagainya. Dari sekian banyak tempat berdagang di sepanjang jalan itu, ada satu tempat yang baru dibuka. Rumah makan ikan bakar Nikmat Dan Lezat !
 Azka mendengar suara ribut saat hendak melewati rumah makan Nikmat dan Lezat.
Pergi kau ! Awas kalau kesini lagi…!" seseorang berteriak sangat keras. KLOTHAK, KLONTANG…DUKK ! Sebatang kayu melayang keluar dari dalam toko, bersamaan dengan seekor kucing yang lari terbirit-birit.  Kayu itu menghantam tong sampah. Lalu memantul kembali  hingga mengenai kepala  kucing itu. Seorang laki-laki gemuk keluar dari rumah makan dengan wajah marah. Ia mengacungkan kayu ke arah kucing hitam itu sambil bersumpah serapah. Kucing hitam sudah sempoyongan akibat kayu yang mengenai kepalanya. Tapi  Laki-laki itu belum puas. Ia melempar lagi dengan sekuat tenaga. WINGGG…DUKK ! Meong ! kucing hitam terpelanting terdorong oleh kekuatan lemparan yang dasyat. Kucing hitam  berjalan terpincang- pincang, rupanya kakinya yang terkena kali ini. Laki-laki itu menyeringai puas. Ia masuk kembali ke rumah makan Nikmat dan lezat.
Azka berdiri terpaku. Badannya gemetar  menyaksikan peristiwa di depan matanya itu. Beberapa orang yang juga menyaksikan kejadian itu tak terlau peduli. Mereka segera berlalu dan kembali melanjutkan aktivitas masing-masing.
"Meong, meong, meong." Sayup-sayup Azka  mendengar suara erangan yang memilukan. "Oh kucing yang malang dimana kau ?" Azka segera mencari sumber suara. Ia mencari di balik tong sampah, di bawah selokan sampai pot-pot  yang berjajar di depan toko. "Tidak ada ! Di mana dia ya ?" Azka berputar-putar di sekitar tempat itu. Ia tak menyadari sepasang mata laki-laki gemuk pemilik rumah makan Nikmat lezat terus mengawasinya. Azka gagal menemukan kucing yang malang itu. Dengan kecewa Azka meninggalkan tempat itu. Tapi ketika ia sampai di dekat tong sampah depan kios jamu, Azka menemukan seekor kucing hitam meringkuk di baliknya.
"Oh kau di sini rupanya. Aku sudah mencarimu kemana-mana."pekik Azka lega.
"Meong."
"Kau pasti kesakitan ya. Sini kuperiksa." Azka mendekap kucing itu. Ia mendapati luka tepat di dekat telinga dan di daerah kaki.
"Kasihan sekali kau. Jangan kuatir aku akan mengobatimu. Sekarang ki…"
"Hey !" Azka terkejut. Seseorang menegurnya dengan kasar. Namun Azka  mencoba untuk tenang ketika ia mengetahui orang itu adalah laki-laki pemilik restoran nikmat dan lezat.
"Jadi itu kucingmu. Bawa jauh-jauh dari sini.  Kucingmu itu nakal sekali, mencuri kepala  ikan guramiku."
"Ya Pak. Baik Pak." Meski berusaha tetap tenang, Azka merasa gugup juga, melihat mata laki-laki itu memerah.
"Yuk kita pergi." Azka menggendong kucing hitam itu lalu cepat berlalu dari tempat itu.  Kucing itu terus menerus mengerang. Meski Azka membelai bulunya berulangkali kucing itu tetap saja mengerang. Luka di tubuhnya pastilah sangat membuatnya kesakitan.
"Bertahanlah. Aku akan mengobatimu setiba di rumah."
Rumah Azka tinggal beberapa puluh meter lagi. Semakin mendekati rumahnya, hati Azka makin bingung dan cemas.
"Bagaimana aku menghadapi ibu nanti ?" batinnya cemas.
Ibu terkejut saat membuka pintu. Azka tersenyum kecut. Ibu menatap tajam kucing kampung yang digendong Azka. Kucing itu serta merta berhenti mengerang. Kepalanya dibenamkannya di lengan Azka.
"Azka kenapa kau membawa kucing lagi ke rumah ? Bukankah ibu sudah melarangmu."
"Maafkan aku Bu. Tapi Kucing ini terluka." Jawab Azka gugup.
"Lalu ?"
"Aku akan mengobati lukanya." Azla tertunduk. Ia tak berani menatap mata ibu. Ia memang telah berjanji sebelumnya pada ibu untuk tidak lagi membawa kucing ke rumah. Dulu ibu tak keberatan dengan adanya seekor kucing di rumah. Tapi lama kelamaan kucing yang dibawa Azka makin banyak jumlahnya. Azka adalah seorang anak yang sangat sayang pada binatang, terutama kucing. Ia tak pernah menolak kucing pemberian temannya, ia juga tak pernah keberatan memungut seekor kucing liar yang kelaparan di jalan. Ibu mulai terganggu dengan kehadiran kucing-kucing yang banyak itu. Kucing-kucing itu suka kencing atau membuang kotoran di sembarang tempat. Ibu jadi jengkel di buatnya. Kejengkelan ibu makin bertambah saat seekor kucing belang memecahkan pot bunga kesayangan ibu.
"Mulai sekarang, tidak boleh ada kucing di rumah ini Azka." Tegas ibu.
Ibu memberi waktu semalam pada kucing kampung untuk tinggal di dalam rumah. Azka memanfaatkan waktu yang pendek itu untuk mengobati luka kucing itu. Luka itu dibubuhinya dengan obat yang biasa dipakai ibu untuk mengobati luka lecet. Luka di kepala dan kaki kucing itu ternyata cukup parah. Lukanya lebar. Saat malam tiba, karena ibu tidka memperbolehkan  kucing itu tidur didalam kamar Azka, Azka membawanya pojok garasi yang hangat. Hurairah, demikian Azka kemudian memberi nama kucing itu.
Biasanya Azka sangat senang menyambut datangnya pagi, tapi hari ini ia sangat resah ketika malam berganti dengan pagi. Itu berarti waktu yang diberikan ibu pada Hurarirah  itu untuk tinggal di dalam rumah telah habis. Syukurlah hari itu adalah hari Minggu. Azka memiliki banyak waktu untuk mencarikan rumah baru bagi Hurairah.
"baiklah Huairah, sekarang saatnya mencari rumah untukmu."
"Meong." Kucing itu megeong seolah mengerti maksud perkataan Azka.
Setelah berpikir cukup lama, Azka memilih meminta tolong pada Desi temannya. Dulu Desi pernah menitipkan kucingnya ke rumah Azka.
"Assalamu'alaikum"
"Wa alaikum salam. Hey Azka ada perlu apa ?" Desi memandangi kucing kampung  dekil itu dalam gendongan Azka.
"Des, maukah kau menolong Hurairah. Kucing ini tidak punya rumah. Bolehkah ia tinggal di rumahmu sampai lukanya sembuh ?" tanya Azka.   Desi tidak perlu berpikir lama untuk menanggapi permintaan Azka. Sejak pertama kali melihat  Hurairah kucing ksmpung itu, Desi sudak tidak suka. Siapa yang suka pada kucing dekil.
"Maaf  ya Azka. Yang boleh tinggal di rumahku cuma si Puntir." Desi meyebut nama kucing anggoranya yang memang cantik karena selalu dibawa ke dokter hewan dan salon setiap bulan."
"Tapi Hurairah terluka Des." Azka mencoba membujuk Desi.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan kucing kampung seperti itu Az. Kucing jalanan itu nakal suka mencuri, suka berkelahi dengan temannya terus luka kena cakar. Biarkan saja nanti kan sembuh sendiri." Mendengar jawaban Desi, Azka jadi kecewa.
"Des, apakah kamu  pernah terluka yang cukup parah ?"
"Ya tentu saja."
"Apakah lukamu itu bisa sembuh tanpa diobati ?"
Azka segera berlalu. Ditinggalkannya Desi  yang termangu.

Thursday, January 14, 2010

Pahlawan Sebatang Pohon

Kata Ayah tanaman itu tumbuh bersama Adi. Ayah menanamnya hanya beberapa saat setelah Adi lahir. Waktu Adi berumur 3 tahun, ayah mengajarinya menyiram dan memupuk tanaman itu. Lama kelamaan Adi bisa melakukannya sendiri, tak perlu ditemani apalagi dibantu.
Berkat perawatan yang baik, tanaman itu tumbuh dengan subur. Dari awalnya yang hanya setinggi betis ayah, menjelma menjadi sebatang pohon jambu biji yang besar. Tinggi pohon itu kini bahkan melebihi ayah. Pohon itu sudah berbuah beberapa kali. Tidak hanya adi dan keluarga yang menikmati buahnya, para tetangga juga. Pohon itu juga memiliki cabang yang banyak dan daun yang rimbun. Siapapun yang berteduh di bawahnya pasti merasa nyaman.
Penjual makanan, penjaja minuman, tukang bakso, penjual Siomay, sering memanfaatkan pohon itu sebagai tempat berteduh bila terik matahari menyerang bumi.
Adi teringat pada pohon jambu bijinya saat Pak Bangkit sedang bercerita tentang bencana alam dan banjir. Sebagian murid menyimak dengan baik, sebagian lagi terkantuk-kantuk. Pelajaran Pak Hamid memang terletak di akhir waktu sekolah. Beberapa saat lagi bel pulang sekolah akan berbunyi.
"Mengapa bencana alam dan banjir makin sering terjadi Pak ?" tanya Lala.
"Karena manusia makin gencar merusak alam. Bisa beri contoh kerusakan yang dilakukan manusia ?" Pak Bangkit menunjuk Pepeng yang kepalanya beberapa kali hampir terantuk meja karena mengantuk. Pepeng bengong. Beni jahil yang duduk disampingnya segera membisikinya.
"Eh itu Pak merusak jalan-jalan Pak. Sekarang banyak jalan yang berlubang." Jawab Pepeng menirukan Beni. Anak-anak tertawa. Pak Bangkit  geleng-geleng kepala, kemudian menyuruh Beni membetulkan jawaban Pepeng.
"Membuang sampah di sungai Pak."kata Beni. Pepeng melotot, ia marah pada Beni yang menjahilinya.  kantuknya hilang seketika..
"Penggundulan hutan, penebangan pohon adalah contoh yang lain. Hal ini tidak boleh kita biarkan, Inilah saatnya bagi kita untuk menjadi pahlawan bagi sebastang pohon
"Pahlawan sebatang pohon ?" Adi memikirkan kata-kata Pak Bangkit. Tapi tepukan keras Doni mengejutkannya.
"Di jangan lupa. Pulang sekolah kita menjenguk Saleh."
"Iya aku tidak lupa."
Pulang sekolah, Adi dan beberapa anak lainnya pergi menjenguk Saleh. Untuk sampai di rumah Saleh, anak-anak harus melalui jalan sempit dan berliku-liku.  Hanya para pejalan kaki dan pengendara sepeda motor yang bisa melewatinya. Saleh pernah bercerita kalau rumahnya berada di pinggir sungai. Di hadapan teman-temannya Saleh selalu membanggakan sungainya itu. Dan ketika sampai di depan rumah Saleh, Adi dan teman-temannya baru tahu kalau sungai kebanggaan Saleh adalah sebuah sungai yang kotor dan keruh.
Ibu Saleh membuka pintu. Anak-anak di persilakan duduk di ruang tamu rumah yang sempit. Saleh muncul tak lama kemudian. Wajahnya pucat dan badannya lemas
"Kau sakit apa Saleh  ?" tanya Rudi ketua kelas.
"Sakit perut." Jawab Saleh sambil memegangi perutnya yang masih terasa sakit.
"Sudah minum obat belum ?" tanya Doni.
"Sudah tapi diarenya belum sembuh juga." Jawab Saleh lemas. Adi terbelalak. Ia teringat sesuatu. "Jadi kamu diare ya ? Sudah coba minum rebusa air jambu biji atau belum ?"  Saleh menoleh pada ibunya. Ibu tua itu yang kemudian menjawab. "Apa benar begitu."
"Insya Allah Bu. Dulu saya terserang diare. Alhamdulillah segera sembuh setelah meminum air rebusan daun jambu biji."
"Tapi di sini sulit sekali mendapatkan daun jambu biji Nak."
"Kalau soal itu aku bisa membantu. Dihalaman rumahku ada pohon jambu biji. Insya alllah saya akan memetiknya untuk Saleh."
 "Oh terima kasih Nak."
Siang ini Adi  akan memetik beberapa helai daun jambu biji sesuai janjinya pada Saleh dan ibunya.  Adi menuju halaman rumahnya sambil membawa kantung plastik yang disiapkan ibu.
"Pilih yang segar Di. Ambil yang banyak untuk persediaan temanmu." Pesan ibu. Ibu sangat senang melihat Adi sangat bersemangat membantu temannya. Itulah sebanya ibu tak keberatan Adi melewatkan waktu tidur siangnya.
 Adi tersenyum memandang sebatang pohon jambu biji di halaman. Pohon itu meliuk-liuk ditiup angin. Daunnya melambai-lambai seolah memanggil Adi untuk mendekat. Daun -daun kering berjatuhan. Sebagian jatuh di atas sebuah batu yang teronggok tepat di bawah pohon. Di atas batu itulah Adi suka duduk di atasnya sambil menikmati rindangnya pohon jambu biji. Adi suka pula memanjat pohon itu. Di atas pohon Adi  memetik buah yang matang atau bermain-dengan mobil mainannya yang ia jepitkan di antara ranting-ranting pohon.
"Hai pohon apa kabarmu. Semoga kau baik-baik saja ya."Adi berkata dengan riang. Setelah itu ia segera memanjat pohon lalu memetiki daun jambu yang segar.Adi memenuhi kantung plastiknya dengan daun-daun jambu dan dua buah jambu biji yang matang. Jambu biji itu akan ia persembahkan pada Saleh dan bunya.
Adi mengambil mobil-mobilan yang tejepit di dahan pohon. Ia bermain-main sebentar. Saat akan turun dari pohon Adi men dengar suara gaduh RRRT RRRT RRRT…
Ai melompat turun. Di bawah pohon sudah ada  Pak Karim penjual es dawet yang berteduh sambil beristirahat. Pak Karim berulangkali menyeka keringatnya yang berleleran.
"Bapak numpang berteduh ya Nak. Panas sekali siang ini." Kata Pak Karim.
"Silakan Pak."jawab Adi dengan sopan. Adi kemudian bertanya tentang bunyi berisisk yang tadi didengarnya.
"Oh itu suara gergaji listrik. Beberapa orang sedang menebangi pohon di ujung jalan sana."
"Astaghfirullah. Untuk apa pohon-pohon itu ditebangi Pak ?"
"Kata orang sih, jalan ini mau diperlebar." Penjelasan Pak Karim membuat Adi cemas. Ia memandang pohon jambu bijinya sambil berharap tak kan ada hal buruk yang menimpa pohon kesayangannya itu.
Berkat pertolongan Allah, Saleh sembuh dari sakit Diare setelah minum rebusan daun jambu biji. Kabar baik itu datang bersamaan dengan datangnya sebuah kabar buruk bagi Adi.  Dua hari lagi pohon jambu biji di halaman depan rumah akan di tebang !