Thursday, September 29, 2011

Obat Batuk Untuk Nenek

Kanti berlari paling depan. Menyusul dibelakangnya  Rumi dan Ari. Kanti berlari dengan lincah. Sesekali ia melompati genangan air yang muncul akibat hujan tadi malam. PYOK ! Bunyi  yang terdengar saat kaki Kanti yang pendek gagal melewati genangan air yang lebar. Air bercipratan kemana-mana. Mengenai Kanti juga Rumi dan Ari. Rumi dan Ari tak kesal mereka malah tertawa gembira.
Wajah Kanti berseri-seri. Apotik Sejahtera yang menjadi tujuannya sudah ada di depan mata.  Sore itu apotik Cempaka ramai pengunjung. Mereka semua orang dewasa. Kanti menyelinap dengan penuh semangat diantara tubuh-tubuh orang dewasa yang mengantri. Badan Kanti yang pendek dan kecil membuat gadis itu dapat melakukannya dengan mudah. Rumi dan Ari tak mengikuti apa yang di lakukan Kanti. Mereka cuma berdiri di pintu apotik.
   Kanti mengalami kesulitan saat ia berhasil mencapai etalase tempat memajang aneka macam obat. Kotak kaca itu terlalu tinggi untuknya, sehingga ia tak bisa bertatap muka langsung dengan  penjaga apotik. Kanti tak kurang akal. Ia mengulurkan tangan kanannya yang menggenggam beberapa  uang receh ke atas. Setelah itu ia berkata lantang sambil tangan kirinya mengetuk-ngetuk kaaca etalase.
"Mbak beli obat batuk sirup."
Penjaga apotik sedang sibuk sehingga mengabaikan teriakan Kanti. Kanti mengulang lebih dari 3 kali untuk mendapat perhatian penjaga apotik.
Seorang wanita muda berkacamata melongok dari balik etalase. Kanti tersenyum saat penjaga apotik itu menanyakan keperluannya dengan ramah.
"Mau beli obat batuk sirup mbak untuk nenek saya."
"Ehm obat batuk sirup yang mana ya ?" tanya penjaga apotik itu.
Kanti jadi bingung.
"Nenekmu pasti memberitahumu kan ?"
Kanti makin bingung.Neneknya tak menyebutkan nama obat yang harus dibelinya. Nenek cuma menyerahkan uang tanpa berkata apa-apa. Biasanya Kanti selalu banyak bertanya ketika nenek menyuruhnya. Tapi kali ini Kanti tak bisa melakukannya, karena sejak kemarin lebih banyak batuk yang keluar dari mulut nenek dari pada kata-kata nenek. Kanti jadi tak sampai hati bertanya banyak hal pada nenek.
"Ehm..obat batuk apa saja deh mBak, ini uangnya." Kanti memindakan uang receh di tangannya ke telapak tangan mbak penjaga toko. Dahi mbak yang ramah itu seketika mengernyit. Matanya menatap uang receh itu dari balik kacamatanya yang bergagang coklat muda. Wajahnya yang ramah kini berubah bingung.
"Mana obatnya mbak ?" tanya Kanti tak sabar. Ia heran penjaga apotik itu hanya berdiri saja tanpa mengambil yang ia perlukan,
"Maaf ya dik. Apa kau tak membawa uang lagi. Dengan uang ini kau tak bisa membawa pulang obat batuk untuk nenekmu." Mbak penjaga toko itu menjajar uang logam seratus rupiah sebanyak lima buah itu di atas telapak tangannya. Ia seolah-olah tak percaya kalau ada seorang anak kecil membeli obat batuk hanya dengan membawa uang lima ratus rupiah.
"Apa harga obatnya nggak bisa diturunkan mbak. Nenekku sangat membutuhkannya." Kanti memohon. Mbak penjaga itu menggeleng. Ia membuka genggaman tangan Kanti lalu menaruh kembali uang recehan itu ke dalamnya.
"Bawalah pulang kembali. Minta nenekmu memberi uang lebih." Katanya sambil beranjak meninggalkan Kanti. Kanti cemberut. Ia tak segera beranjak dari depan etalase, seolah tak percaya perkataan penjaga apotik, matanya mengelana melihat ke deretan obat batuk sirup yang dipajang di etalase. "Lima ribu rupiah yang paling murah," desahnya. Rumi dan Ari  melambai  memanggil Kanti.
"Uangnya kurang ya." Tanya Rumi. Sejak tadi ia memang khawatir uang Kanti nggak akan cukup untuk membeli obat batuk sirup untuk  neneknya.
"Bukan. Kurasa bukan begitu. Toko ini saja yang menjual obat terlalu mahal." Jawab Kanti setengah menggerutu.
"Pulang dulu yuk. Minta nenekmu memberi uang lagi." Saran Ari. Tapi Kanti menggeleng. Ia tahu di dompet nenek sudah tak ada uang lagi.
"Aku akan ke apotik yang lain. Pasti ada yang menjual obat yang murah."
Rumi dan Ari berdiri mematung.
"Kalian ikut tidak ?" tanya Kanti tak sabar. Ia memang harus segera membawa pulang obat batuk karena nenek menunggunya di rumah. Rumi dan Ari mengangguk. Kendati tak yakin, mereka tak ingin membiarkan Kanti mencari obat seorang diri.
Ketiga sahabat itu berlari lagi. Kali ini mereka berhenti di sebuah apotik yang jauh lebih besar dari apotik Cempaka. Apotik itu selain besar, bangunannya juga megah. Para pembeli obatnya hampir semuanya datang dengan mobil-mobil mengkilat. Rumi dan Ari saling berpandangan. Mereka tak yakin apotik sebesar ini punya obat batuk seharga uang recehan Kanti. Tapi mereka tak berkata apa-apa.
Kanti keluar tak lama kemudian. Wajahnya sedih dan uang lima ratus rupiah masih ada di tangannya.
Gerimis telah menjelma menjadi hujan deras di luar sana. Kanti menyaksikan air hujan yang tercurah rapat dan cepat itu dari balik jendela rumahnya. Dibelakang punggungnya butik tok tok tok terdengar makin keras dan ramai. Bunyi-bunyian itu berasal dari air hujan yang menerobos masuk lewat atap yang bocor dan jatuh di atas baskom baskom yang ditempatkan nenek di bawahnya.
Tot tok tok tok. Bunyi itu terdengar di beberapa tempat. Di belakang punggung Kanti, di kamar mandi, di dapur sempit nenek bahkan di kamar dimana nenek terus terbatuk-batuk hingga saat ini. Udara yang dingin membuat batuk Nenek makin menjadi-jadi. Kanti sedih sekali setiap kali melihat nenek berusaha tetap kuat melawan batuk yang membuat tubuhnya melemah. Gara-gara tubuhnya yang melemah nenek harus berhenti sementara waktu dari pekerjaannya sebagai buruh cuci baju.
"Kanti !" gadis kecil itu terkejut. Ia memang sedang termenung, sehingga suara yang lembutpun akan sanggup membuatnya terkejut. Nenek telah berdiri dibelakang Kanti. Nenek terbatuk-batuk lagi untuk beberapa saat.
"Apa yang kaupikirkan ? Apa kau masih memikirkan obat batuk yang tak terbeli itu." tanya nenek dengan suara yang parau. Kanti hampir saja menggeleng. Tapi tak ada gunanya berbohong pada nenek. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Nenek adalah orang yang mengasuhnya. Jadi Nenek hapal betul dengan tabiat Kanti.
"Iya nek." Kanti mengangguk.
"Tak usah khawatirkan itu lagi."
 "Tapi bagaimana nenek bisa sembuh kalau tak minum obat." Kata kanti.
"Yang menyembuhkan penyakit adalah Allah. Nenek akan berdoa supaya Allah memberi kesembuhan yang cepat." Nenek terbatuk-batuk lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya sampai tubuhnya terbungkuk-bungkuk. Kanti makin iba melihat keadaan nenek. Dalam hati ia berpikir mungkin Allah sengaja memberi sakit batuk pada nenek, supaya nenek punya kesempatan untuk beristirahat. Terbayang di matanya bagaimana kerasnya nenek bekerja selama ini. Dari pagi hingga petang bekerja mencuci baju-baju milik orang lain. Nenek tak pernah mengeluh ketika melakukannya.  Semua itu dilakukan nenek untuk mencari nafkah dan menyekolahkan Kanti.
"Aku harus melakukan sesuatu untuk nenek. Harus !" tekad Kanti dalam hati.

 Kati merasa lega. Cuaca pagi itu cukup bersahabat setelah semalam hujan terus-terusan mengguyur. Matahari mengintip malu-malu dari balik awan. Sinarnya walaupun sedikit terhalang, mampu menghangatkan udara pagi. Hari ini adalah hari minggu. Kemarin Kanti telah berjanji akan bertemu dengan Rumi dan Ari. Kemarin mereka bertiga telah menyusun sebuah rencana.
Rumi dan Ari telah menunggu Kanti di bawah sebatang pohon Angsana. Rumi membawa baskom plastik yang ditutupi selembar kain demikian pula dengan Ari. Kanti tersenyum mendekati kedua sahabatnya. Ia membuka sedikit kain yang menutupi baskom Rumi dan Ari. Asap mengepul dari pisang  goreng yang masih hangat.  Sudah sejak lama Rumi dan Ari berjualan pisang goreng. Mereka melakukankannya setiap hari Minggu,  sekedar sebagai tambahan uang jajan dan juga membantu menringankan beban orang tua.
"Ayo kita ke rumah Bu Sabar. Kita lihat apa yang beliau punya untukmu." Ajak Rumi. Rumi dan Ari membawa Kanti ke rumah Bu Sabar. Bu sapariyah adalah seorang pedagang makanan yang baik hati. Beliau suka memberi kesempatan pada siapa saja yang membutuhkan untuk menjajakan makanannya. Telah banyak anak-anak yang ditolong oleh Bu Sabar. Anak-anak itu berkeliling menjajakan makanan buatan Bu Sabar. Bu Sabar akan memberi upah sebanyak makanan yang terjual.
"Tinggal ini yang tersisa Nak." Kata ibu berwajah teduh itu. Disodorkannya sebuah termos berwarna hijau pada Kanti. Kanti terkejut saat menyentuh dinding termos yang dingin. Ia makin terkejut saat membuka isinya. Beberapa buah es sirup merah di dalam kantung-kantung plastik.
"Cuaca dingin dan  es sirup, bagaimana mungkin ?" desah Kanti. Ia mulai resah tak yakin ia akan mampu menjual es sirup di saat cuaca sedang dingin-dinginnya dan hujan yang terus menerus mengguyur.
"Mmaafkan saya Bu. Apakah saya tidak bisa menjual makanan yang hangat seperti teman-teman lainnya ?"Kanti bertanya dengan ragu-ragu. Ia khawatir Bu Sabar akan marah padanya. Namun di luar dugaannya Bu Sabar malah  tersenyum .
"Cuaca cerah adalah rahmat dari Allah, hujan juga rahmat dari Allah. Jadi tidak ada bedanya bukan. Pertolongan Allah selalu datang kapan saja tanpa mengenal waktu. Kau hanya perlu berusaha dengan seungguh-sungguh."
Kanti terdiam.
"Menurut temanmu kau membutuhkan uang untuk membeli obat buat nenekmu yang sangat kau sayangi. Nah gunakanlah itu sebagai  penambah semangatmu."
Kata-kata Bu Sabar membangkitkan semangat Kanti. "Baiklah Bu, akan saya coba." Kata Kanti. Setelah Bu Sabar menjelaskan keistimewaan sirup merah Stoberi buatannya, Kanti bergegas meninggalkan rumah Bu Sabar dan mulai menjajakan sirup merah stroberi. Ia berjalan sendiri. Rumi dan Ari telah berkeliling sejak tadi.
Baru beberapa saat  berkeliling, gerimis telah datang. Kanti membuka payung yang dibawanya dari rumah. Tangan kanannya memegang termos, tangan kirinya memegang payung. Kanti melihat seorang bapak berteduh di teras toko-toko kecil, menunggu angkutan kota yang setiap saat lewat di jalan itu.
"Es sirup Stroberi Pak ! Murah seribu rupiah saja." Kanti membuka tutup termos dan menunjukkannya pada bapak itu. Bapak itu cuma melihat sekilas, lalumerapatkan kedua tangannya seolah sedang kedinginan. Seorang ibu berdiri tak jauh dari bapak tadi. Kanti melakukan hal yang sama dengan sebelumnya.
"Es sirup ini stroberi Bu."  Namun ibu tadi cuma menggeleng. Beberapa anak laki-laki berjalan di atas trotoar. Mereka nggak memakai payung rupayan sengaja berhujan-hujan.
"Es sirup stroberi." Ujarnya pada anak-anak itu. Seorang anak laki-laki dengan baju basah kuyub melihat Kanti sambil tertawa meledek. "He..he..nggak salah nih. Seharusnya kau menjual minuman yang hangat. Dingin dingin begini jualan es. Ihh…siapa yang mau beli." Anak-anak yang lain juga ikut tertawa.
Kanti menggigit bibir. Kata-kata anak-anak tadi sedikit melemahkan semangatnya. Kanti berjalan lagi di trotoar. Mobil dan motor di jalan melaju dengan kencang. Hujan masih gerimis. Setiap orang yang dijumpainya ditawarinya es sirup merah. Tapi sejauh ini tak ada satupun yang berniat membeli. Es sirup di termos masih tetap berjumlah 11 buah. Yang sepuluh untuk dijual, sisanya adalah bagian untuk Kanti. Kanti belum menyentuh sedikitpun es sirup bagiannya. Kanti pun tak punya sedikitpun keinginan untuk meminumnya. Ia malah membayangkan segelas teh hangat yang biasa dibuat  nenek untuknya di kala hujan.
"Aku sendiri malas meminumnya apalagi orang lain." Batinnya mulai membenarkan olok-olok anak-anak tadi. 
 Kanti berteduh di bawah sebatang pohon yang besar.  Batang pohon itu begitu besar, sehingga kalau Kanti melingkarkan kedua tangannya di sekelilingnya, kedua tangannya tidak akan bertemu. Kanti  bersandar lesu. Ia hampir putus asa. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Tadi sebelum  berangkat menjajakan es sirup ia belum berdoa.
"Kenapa aku bisa lupa." Sesal Kanti. Berdoa sebelum melakukan sesuatu selalu ia lakukan. Nenek yang mengajarinya melakukan hal itu. Kanti menundukkan kepala."Ya Allah berikanlah kemudahan padaku untuk menjual es sirup ini.agar aku bisa membeli obat sirup untuk nenek. Amin.
Seorang bocah kecil berdiri tak jauh dari Kanti. Kanti baru melihat bocah itu sesaat setelah ia selesai berdoa. Bocah laki-laki itu memandang Kanti dan termosnya bergantian. Begitu terus berulangkali, membuat Kanti keheranan. Tiba-tiba bocah itu bergerak ke balik batang pohon yang besar itu. Sesaat kemudian ia menarik tangan seorang gadis yang seusia dengan Kanti. Rupanya gadis itu juga berteduh di bawah pohon itu. Tepatnya di sisi batang yang lainnya.
"Adikku memintaku untuk bertanya padamu. Apa yang kau jual itu ?" tanya anak perempuan itu pada Kanti. Gadis itu membawa keranjang kecil di tangannya.
"Es sirup Stroberi." Jawab Kanti tak bersemangat.
"Boleh kami melihatnya ?" tanya gadis ragu-ragu. Kanti membuka tutup termosnya. Gerakannya tak bersemangat. Ia tak yakin kedua kakak beradik di hadapannya itu akan membeli es sirupnya.
"Hm..kelihatannya enak. Berapa satu ?"
"Seribu rupiah." Jawab Kanti. Gadis itu tertunduk. Kemudian ia berbisik ke telinga adiknya. Tiba-tiba bocah laki-laki itu seperti mau menangis. Ia merengek-rengek pada kakaknya. Gadis itu kelihatan bingung.
"Kenapa ?" Kanti ingin tahu.
"Adikku ingin membeli es sirupmu tapi…." gadis itu ragu-ragu lagi."Kami hanya punya uang lima ratus rupiah."
Kanti terdiam. Ia merasa kasihan pada bocah cilik itu dan kakaknya yang tampaknya tak kuasa untuk membujuknya.
"Kamu tak perlu membeli." Kata Kanti mengagetkan gadis kecil itu. "Ambilah ini. Satu es yang ada di termos ini adalah bagianku." Kanti menyodorkan sekantong plastik es sirup. Kini dalam termos itu ada 10 buah es sirup.
"Hm..enak… enak !" bocah itu berteriak kesenangan. Kanti sampai terkejut mendengarnya. Gadis kecil itu ikut mencicipinya, matanya langsung berbinar. "Wah memang benar-benar enak."
"Sungguh ?" tanya  Kanti tak yakin. Gadis itu terheran-heran.
"Jadi kau belum pernah meminumnya. ?" Tanya gadis itu tak percaya. Kanti menggeleng lesu."Ini hari pertamaku berjualan es sirup. Dan tak seorangpun yang membelinya. Gadis kecil itu segera menyodorkan es sirup yang tadi diminumnya. Kanti meminum seteguk. Meminum es sirup itu serasa sedang mengunyah buah stoberi yang manis dan segar. Subhanallah, es sirup stroberi itu benar-benar segar dan nikmat.
"Tapi tak seharusnya dijual di musim hujan begini kan." Ucap Kanti lesu.
"Siapa bilang, aku tak keberatan meminumnya biarpun berada di tengah hamparan salju sekalipun." Ujar gadis itu bersemangat.
"Hanya kau yang berkata seperti itu." sahut Kanti.
"Itu karena mereka belum merasakannya. Kau hanya perlu meyakinkan orang lain bahwa rasa es stroberimu sangat enak." Lanjutnya. Gadis itu kemudian memperkenalkan diri. Namanya Tami. Ia seorang penjual permen. Tami menunjuk pada serombongan anak di seberang jalan. Anak-anak itu di temani ibu mereka.
"Kami baru saja menjual permen pada mereka. Tahu tidak mereka semua memilih permen rasa stroberi. Kurasa itu adalah kesempatanmu. Ayo Cepatlah ke sana sebelum mereka pergi."
Kanti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Setelah berpamitan pada Tami dan adiknya, Kanti segera menuju ke seberang jalan. Tapi anak-anak itu keburu beranjak sebelum Kanti sampai ke tempat mereka. Kanti mempercepat langkahnya, beruntung hujan telah reda, hingga Kanti tak perlu direpotkan lagi oleh payungnya.
"Es sirup stroberi. Segar dan nikmat." Seru Kanti. Ia kini mulai berlari. Khawatir tak akan mampu mengejar anak-anak yang berjalan cepat jauh di depannya.
"Es sirup sroberi." Kanti terus berteriak. "Es sirup Stroberi…es sirup stroberi"
Tiba-tiba salah seorang dari anak-anak itu menoleh. Anak itu berkata sesuatu hingga semua anak akhirnya berhenti.
"Es sirup stroberi. Rasanya enak sekali. " Seru Kanti dengan penuh semangat. Ibu anak-anak itu menggeleng. Tapi salah seorang anak laki-laki sedikit memaksa.
"Baiklah satu saja ya." Kata ibu tadi melegakan hati Kanti. Kanti mengambil sekantung es sirup. Ibu tadi megulurkan selembar uang seribu rupiah.
"Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah." Seru Kanti berulang- ulang. Ia hendak meninggalkan tempat itu ketika tiba-tiba didengarnya suara ribut. Rupanya anak-anak itu berebut minum es sirup stroberi.
"Hai Dik kemarilah !" panggil ibu tadi. Kanti mendekat dengan hati berdebar
"Ibu beli empat lagi ya. Rupanya anak-anak sangat menyukai es sirup stroberimu."
"Oh iya bu." Kanti membuka tutup termosnya dengan bersemangat. Ia mengeluarkan lagi empat kantung es.
Keberhasilan itu membuat Kanti makin bersemangat. Dengan semangat yang menyala ia terus berjalan menjajakan es sirup stroberinya.
"Es sirup stroberi segar. Nikmat rasanya. Cobalah, pasti tak menyesal.Gulanya dari gula asli. Sangat menyehatkan." Kanti makin lihai menawarkan dagangannya.
Kanti berjamaah sholat Ashar di rumah ibu Sabar . Ia merasa bahagia karena telah berhasil menjual semua es ditermosnya. Bu Sabar memberi Kanti uang 5000 rupiah sebagai hasil jerih payahnya. Ibu yang baik itu menepuk pundak Kanti berulang-ulang. "Ibu tahu, kami pasti bisa melakukannya Nak."
Kanti berlari riang. Selembar uang lima ribu rupiah menghuni kantungnya. Kanti tak langsung pulang. Ada hal yang harus dikerjakannya. Apotik Cempaka sedang sepi pengunjung.  Seorang penjaga apotik menyambut kedatangan Kanti. Ia memakai kacamata dengan gagang coklat muda. Kanti  mengenali wajah penjaga apotik yang ramah itu, demikian pula sebaliknya.
"Kau masih mau membeli obat batuk sirup untuk nenekmu ?"tanya penjaga apotik.
"Iya !" jawab Kanti cepat.
"Tapi tak ada obat batuk yang harganya lima ratus rupiah. Ingat itu Dik."
"Iya aku tahu. Aku membawa uang lebih sekarang." Ujar Kanti riang.
"Oh ya baiklah. Obat mana yang kau pilih ?"
Kanti menunjuk sebotol sirup obat batuk berbungkus karton hijau. Botol obat batuk itu masih berada ditempat yang sama saat Kanti pertama kali melihatnya.
"Yang ini Kak. Tolong dibungkus ya." Kanti mengeluarkan uang kertas lima ribuan dari kantung bajunya. Lalu menyerahkan dengan bangga  pada penjaga apotik.
"Baiklah. Semoga nenekmu cepat sembuh."
Kanti  mendekap erat kantong plastik berisi obat batuk sirup untuk nenek.  Ia ingin cepat tiba di rumah dan menyerahkan obat itu pada nenek tercinta  @@@

Tuesday, February 9, 2010

Penggaris Yang Patah

Bu Auli belum datang !  Riko memastikan hal itu dengan melihat lorong kelas yang sepi. "Asyik, kesempatan nih !"serunya senang. Ia kembali ke bangku. Mengeluarkan tas kain yang ditaruhnya di bawah bangku. Toni kawan sebangku Riko geleng-geleng kepala. Ia tahu apa isi tak kain itu.
"Jangan Rik !" Toni memperingatkan. Tapi Riko tak mendengarkan. Ia terus saja membuka ikatan tas kain itu dan mengeluarkan sepasang sepatu roda. Dengan cepat Riko mengganti sepatu hitamnya dengan sepatu roda. Kemudian dengan sekali hentak ia sudah berdiri tegak di atas sepatu rodanya.
"Asyiiiik !" Riko meluncur. Melewati sela-sela bangku yang  sempit. Riko sangat mahir berrmain sepatu roda. Makanya iatak kesulitan ketika harus melewati jalan yang sempit. "Minggiir !" teriaknya pada anak-anak yang menghalangi jalannya. Suasana kelas jadi heboh. Anak-anak protes tak suka dengan tindakan Riko.
"Berhenti Rik. Kulaporkan Bu Guru nanti." Ancam Kiki, ketua kelas.
Riko mencibir.
"Iya nih mengganggu saja. Main di luar sana biar dimarahi kepala sekolah."tambah Devi.
"Suka-sukaku…"Riko malah meledek.
"Rik jangan gitu dong !" teriak Alfa saat Riko iseng menarik pensil yang sedang dipakai Alfa." Nih tangkap !" Riko melempar kembali pensil itu ke arah Alfa. Anak-anak akhirnya memilih tak menggubris kelakuan Riko. Mereka membiarkan saja anak yang suka bikin ulah itu sibuk dengan sepatu rodanya. Suasana kelas jadi ramai karena anak-anak ngobrol sambil menunggu kedatangan Bu Aulia yang terlambat hampir 10 menit.
Beberapa anak bergerombol di bangku Rini. Rupanya Rini memiliki sesuatu yang menarik perhatian teman-temannya.
"Wah bagus sekali Rin." Kata Sinta
"Iya. Kalau kau gerak-gerakkan gambarnya bisa berubah." Rini menggerak-gerakkan sebatang penggaris di tangannya. Mula-mula penggaris itu bergambar lima negara asean, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailan. Ketika penggaris itu dimiringkan sedikit ke atas gambarnya jadi terlihat seperti bergerak-gerak.
"Wah penggarisnya ajaib !" Rani kagum "Kau beli di mana ? Pasti mahal  kan ?" Rini tersipu. "Nggak mahal kok. Aku beli tiga ribu rupiah, di toko kecil dekat pasar."
Tiba-tiba dari kerumunan anak muncul wajah Riko. Rupanya Riko tertarik dan mendorong anak-anak yang bergerombol agar memberi jalan untuknya.
"Apaan Rin ?" tanya Riko.
"Penggaris !" jawab Rini. Ia hendak memasukkan kembali penggaris itu ketika Riko menyatakan ingin meminjamnya. Rani dan Vivin memberi isyarat agar Rini tak meminjamkan penggarisnya pada Riko.
"Sebentar saja." bujuk Riko. Rini bingung. Ia sesungguhnya tak keberatan meminjamkan penggaris itu pada siapa saja. Tapi pada Riko…
"Baiklah, tapi segera kembalikan ya."kata Rini disambut pekik senang Riko. Sebentar kemudian Riko sudah mengacung-acungkan penggaris Rini sambil berputar-putar di depan kelas. "Penggaris bagus nih, siapa mau lihat …!" teriaknya tapi anak-anak tak menggubris. SWING ! Riko meluncur dari sisi dinding yang satu ke sisi lainnya di depan kelas. Rini cemas memperhatikan kelakuan Riko itu. Ia cuma bisa menunggu sampai Riko mengembalikan penggaris itu padanya. Pintu kelas dibuka. Anak-anak hening seketika.  Riko yang saat itu posisi badannya sedang membelakangi pintu takl melihat Bu Aulia yang telah berdiri di pintu. Sewaktu membalikkan badan, Riko sangat terkejut. Mata bu Aulia yang memadangnya tajam, membuat ia kehilangan keseimbangan. BRUKK ! Riko menabrak papan tulis.  Badannya oleng. Tangan kanannya terlebih dahulu mengenai lantai. Penggaris yang berada digenggamannya menghantam lantai dengan keras. KLEK ! seisi kelas medengar suara itu.
Malam sudah larut .Mata Riko mengantuk sekali. Tapi ia tak bisa tidur. Ia cemas memikirkan hari esok. Tadi di sekolah Bu Aulia menghukumnya karena main sepatu roda di dalam kelas.  Sewaktu ia menerima hukuman menulis 100 kali, teman-teman bersorak. Tak ada seorangpun yang bersimpati pada Riko. Diam-diam Riko merasa terkucil. Tapi bukan hal itu yang paling merisaukannya. Hari ini ia telah membuat penggaris Rini patah. Riko ingat, selama ini Rini adalah anak yang paling baik pada Riko di kelas. Tidak peduli seberapa sering ia mengganggunya Rini tetap baik.
"Duh seharusnya aku tak melakukannya pada Rini !" sesal Riko. "Aku harus mengganti penggarisnya yang patah !"
Keesokan harinya sebelum berangkat ke sekolah.
"astaghfirullah, Riko kau mematahkan penggaris milik temanmu ?" ibu tampak marah.
"Iya bu." Riko tak berani memandang mata ibu. Ia mendengar ibu menyebut kembali daftar panjang kesalahannya dengan kepala tertunduk.
"Dulu kau merusakkan mobil remote Hindun, sebulan yang lalu, ibu harus mengganti kacamata Pak Joni yang pecah karena kau tabrak sewaktu main sepatu roda. Minggu lalu, guci tante Endah kau pecahkan, sekarang…"
"Maafkan Riko Bu. Riko minta uang buat mengganti penggaris itu. Nggak mahal kok Bu cuma tiga ribu rupiah."
Ibu geleng-geleng kepala.
"Ayolah Bu, sekali ini saja. Aku janji nggak akan menyusahkan ibu lagi." Riko merajuk. Ia mulai mengeluarkan  senjata andalannya. Riko yakin Ibu akan memenuhi permintaannya pada akhrinya. Tiba-tiba ibu berkata."Riko kau bilang harga penggaris itu cuma tiga ribu saja."
"Benar Bu. Murah kan. Ayo Bu minta uangnya yah." Mata Riko berbinar-binar. Tapi ibu malah melanjutkan kata-katanya dengan serius.
"Karena harganya cuma tiga ribu, maka…ibu memintamu menggantinya dengan uangmu sendiri."
"Bu !" Riko terperanjat.
"Sebagai sanksinya ibu akan memotong uang sakumu dari seribu rupiah menjadi lima ratus rupiah saja selama 1 minggu."
"Tapi Bu aku tidak akan  bisa mengganti penggariss itu kalau ibu memotong uang sakuku."
"Kenapa tidak, kalau kau bisa berhemat, paling cepat dalam 6 hari kau akan bisa mengumpulkan uag tiga ribu rupiah."

Riko jera membawa sepatu roda kesekolah. Ia tak mau semakin dijauhi teman-temannya. Apalagi teman-temannya masih sering membicarakan peristiwa patahnya penggaris Rini dan meyalahkan Riko.
"Rini." Riko mendatangi bangku Rini."Maafkan aku ya." Ujar Riko mengagetkan Rini. 
"Kau masih marah padaku ya ?" tanya Riko melihat Rini tak bereaksi.
"Kau tahu Riko. Aku mesti menabung selama sebulan supaya bisa membeli penggaris itu. Uang sakuku tidak seberapa. Aku hanya bisa menyisihkan seratus rupiah setiap hari."
"Maaf deh Rin. Aku janji akan menggantinya."
"Kau akan minta uang orang tuamu kan ?"
"Tidak aku akan mengganti pakai uangku sendiri tapi beri aku waktu beberapa hari ya."  Tegas Riko.
"Sungguh ?" mata Rini bercahaya, terbayang akan segera mendapat penggarisnya lagi. "Iya. Aku janji."