Wednesday, October 12, 2011

Negeri Kira-Kira

           Negeri Kira-kira adalah negeri impian Olan. Seperti namanya segala bentuk pengukuran dan penghitungan tak berlaku di negeri itu. Semua kegiatan yang memerlukan pengukuran dan penghitungan akan di kira-kira saja. Olan sangat ingin tinggal di sana. Ia punya satu alasan yang kuat, yaitu : ia benci matematika.
Olan tersenyum lebar. Ia telah tiba di negeri impiannya. Dengan ransel di punggung, Olan kini berhadapan dengan pintu gerbang Negeri Kira-kira yang berbentuk dua pilar. Pintu gerbang itu indah, berlapiskan batu pualam dan granit. Tapi Olala, Olan geli. Ia baru menyadari jika gerbang itu miring. Pilar  kanan lebih panjang dari pilar kiri.
Olan memasuki wilayah Negeri Kira-kira. Baru beberapa langkah ia kembali terkikik geli. Jalan-jalan di negeri itu sesak dengan mobil dan orang lalu-lalang. Yang menggelikan semua mobil bentuknya tak simetris. Pintu kanan lebih kecil dari pintu kiri. Roda kanan lebih besar dari roda kiri. Tapi meski demikian, mobil-mobil itu bisa berjalan. Baju orang-orang mencang-mencong. Lengan kanan lebih pendek dari lengan kiri. Rumah-rumah di sepanjang jalanpun tampak unik. Tonggaknya tidak sama panjang. Pintu dan daun jendelanya    tidak tepat persegi panjang.
  “Tentu saja dik. Negeri kami tak mengenal angka. Segala sesuatu disini tak perlu diukur dan dihitung. Semua di kira-kira saja. Tapi lihatlah, semua baik-baik saja kan, ha..ha..ha..!” jawab seorang pemuda saat Olan bertanya kenapa semua benda di negeri Kira-kira tampak aneh.
 “Ya semua baik-baik saja dan malah kelihatan seru!” Olan setuju sekali. Olan pun sangat bahagia. Ia senang karena di negeri Kira-kira ia tak akan bertemu angka-angka dan matematika. “Selamat tinggal matematika, selamat tinggal pusing kepala,”teriaknya senang.
Olan kini merasa lapar. Ia melihat sebuah kedai yang ramai di sisi jalan. Sebelum datang ke negeri itu, ia telah menyiapkan mata uang negeri Kira-kira. Mata uangnya cuma ada satu jenis. Yaitu uang logam warna tembaga.
“Tuangkan uang logam sebanyak segenggaman tanganku ini. Itulah harganya !” jawab ibu pemilik kedai saat Olan bertanya harga sebutir telur rebus.  
“Begitu saja ?” Olan heran. Ibu itu mengangguk. “Yihuyy ini hebat sekali,” seru Olan gembira. Betapa tidak ia tak perlu pusing-pusing dengan uang kembalian. Sungguh berbeda dengan negeri tempat tinggalnya dulu. Sering sekali Olan kena marah ayahnya karena salah menghitung uang kembalian. Ayah Olan punya toko kecil. Saat menjaga toko, Olan yang tak suka matematika, sering keliru menghitung uang kembalian. “Olan, uang kembaliannya cuma 1500, bukan 2500. Aduh, rugi kita kalau terus begini !” omel ayah beberapa hari lalu, saat Olan lagi-lagi memberi kembalian terlalu banyak pada seorang pembeli di tokonya.
“Huh, aku benci matematika !” gerutu Olan.
Hari menjelang sore. Olan mencari penginapan. Ia bertanya pada orang-orang di jalan. Mereka mengatakan ada penginapan yang bagus di jalan Baga. Olan pun sampai di jalan Baga. Ia tak mengira jika jalan Baga sangat besar dan panjang. Olan kebingungan. Ia tak jua menemukan penginapan tersebut.
“Jalan Baga nomer berapa ?” tanya Olan pada seorang pemandu pariwisata. Tapi orang itu  bingung. Olala, Olan lupa jika negeri Kira-Kira tak mengenal angka.
“Letaknya di sebelah rumah bercat kuning cerah, dengan sebuah pohon cemara angin didepannya dan tong sampah warna hijau muda garis-garis putih,” jawab orang itu. Olan bergegas mencarinya. Tapi ternyata sangat tidak mudah. Ada banyak rumah bercat kuning dengan pohon cemara angin, dan tong sampah hijau muda di depannya Sekujur badan Olan sampai berkeringat untuk  menemukan penginapan itu.
Esoknya Olan jalan-jalan di negeri Kira-kira. Ia mengunjungi pasar yang ramai. Olan membeli sebuah mainan dari kayu. Penjualnya seorang bapak dan anak perempuannya. “Harganya dua genggaman tanganku !” jawab bapak penjual mainan.  “Cring !” Olan menuangkan uang logam ke dua genggaman tangan bapak itu. Tangannya besar, Olan memerlukan banyak uang logam untuk memenuhinya. Sebelum Olan pergi, datang lagi seorang bocah lelaki. Bocah itu membeli mainan yang sama. Tapi kali ini yang melayani adalah si anak perempuan.
“Harganya dua genggaman tanganku,.” jawab anak perempuan itu sambil mengulurkan tangannya. “Cring !” uang logam memenuhi kedua tangan itu. Tapi tentu saja jumlahnya tidak terlalu banyak, karena tangan anak perempuan  itu kecil mungil.
“Hey, ini tidak adil!” protes Olan. “Aku dan dia membeli mainan yang sama, tapi aku membayar lebih banyak uang logam ! “
Protes Olan sia-sia. Dia pun pergi dengan bersungut-sungut. Olan tertarik pada seorang penjual kain di pasar.  Ia hendak membeli tiga meter kain untuk ibunya.
“Segini, segini, lalu segini lagi !” Olan merentangkan tangannya tiga kali untuk menggambarkan kain sepanjang tiga meter. “Oh tunggu, tambahkan lagi segini !” Olan tak yakin. Ia merentangkan lagi sebelah tangannya. “Duh merepotkan sekali,” gumam Olan, saat penjual kain menempelkan kain pada tangannya.
Pasar makin ramai. Orang berjalan berdesak-desakan. Tiba-tiba ada yang menarik tas Olan. Olan cepat menoleh. Seorang lelaki jangkung membawa kabur ranselnya. “Tolong…copet !” teriak Olan. Tapi terlambat, pencopet itu sudah menghilang bersama ransel Olan yang berisi banyak uang logam. Orang-orang mengerumuni Olan. Mereka menanyainya tentang ciri-ciri pencopet itu.
“Tingginya hampir 2 meter, memakai tiga gelang kayu warna hitam.” jawab Olan membuat para penduduk Negeri Kira-kira melongo. “Maksudku tingginya seperti batang pohon itu, oh bukan kurasa setinggi pintu rumah itu.” Olan menunjuk pohon di sisi pasar dan sebuah rumah di dalam pasar dengan wajah kebingungan. Olan kehilangan kata-kata saat menjelaskan tentang tiga gelang itu.
Olan pun melaporkan kejadian itu ke kantor polisi terdekat. Setibanya di kantor polisi.. “Sebanyak apa  uangmu yang hilang?” tanya Pak Polisi.
“Sebanyak ini !”kedua tangan Olan menggambarkan tumpukan uang.
“Segini ?” Pak Polisi menirukan gerakan tangan Olan.
 “Tidak Pak Polisi ! lebih banyak lagi !”
“Sebanyak ini ?” tangan Pak Polisi kembali menggambarkan tumpukan uang. Olan menggeleng. “Tidak Pak, itu terlalu banyak !” sahutnya. Olan pun mulai kesal.  Berjam-jam di kantor Polisi, mereka cuma berdebat soal banyaknya uang yang diambil pencopet. Olan  keluar dari kantor polisi dengan wajah cemberut. Ia kesal sekali. Ia pun memutuskan untuk pulang saja ke negerinya. Angka dan matematika memang sering bikin pusing. Tapi ternyata,  lebih pusing lagi kalau tanpa keduanya.  @@@               

Thursday, September 29, 2011

Donat dan Buku Matematika

Boma berlari menuju kelas 3C. Ia harus secepatnya tiba di sana menemui Manik temannya. Saat itu adalah saat pergantian jam pelajaran. Suasana kelsa sedikitgaduh menunggu guru yang akan mengajar pelajaran selanjutnya. Anak-anak kelas 3 C memandang seorang anak berambut keriting yang masuk kelas mereka dengan terburu-buru. Boma malu, ia berusaha menghindar dari tatapan anak-anak di sekelilingnya. Ia segera menuju bangku kedua dari deretan depan. Manik duduk di tempat itu bersama Gugun teman sebangkunya.
"Manik, pinjam buku matematikanya ya."  Boma berbisik pada Manik. Ia tak ingin perkataannnya didengar oleh Gugun atau anak-anak di sekitar mereka. Namun Gugun tak perlu mendengar perkataan Boma untuk mengetahui keperluan Boma datang ke kelas mereka. Anak itu sudah dapat menebak.
"Huh pinjam melulu beli dong." Serunya saat Manik menyerahkan buku matematika pada Boma.
"Nanti pulang sekolah segera kembalikan ya Bom, soalnnya besok aku ada ulangan matematika. Jadi nanti sore mesti belajar." Pesan Manik.
"Insya Allah, secepatnya aku kembalikan. Sekarang aku kembali ke kelasku dulu Ya. Terima kasih. Assalamu'alaikum."
"Waalakum salam."
Boma  meninggalkan bangku Manik. Ia tak menoleh ke arah Gugun. Ia tak ingin seperti hari Senin yang lalu. Gugun meleletkan lidah kearahnya.
Dengan napas terengah-engah Gugun masuk ke kelasya. Ia beruntung Pak April guru matematika belum datang ke ruangan kelas 3A.  Boma segera menuju tempat duduknya. Ia segera membuka buku matematika yang baru saja dipinjamnya dari Manik anak kelas 3 C.
Manik memang teman Boma yang baik.  Ia selalu  memberi pertolongan pada Boma. Bagi manik mereka memiliki hati seputih salju. Ia tak pernah keberatan bila Boma bermaksud meminjam sesuatu. Sebulan lalu saat Boma harus menunggu ayah memiliki uang lebih untuk membeli buku pelajaran Bahasa Indonesia semester genap. Boma terpaksa meminjam buku Manik Hari Senin, saat di kelas Manik sedang tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia. Buku itu ia kembalikan segera saat pulang sekolah. Hari Rabu Boma meminjam buku lagi, demikian juga hari Jumat, Boma menanti Manik di pintu kelas 3 C untuk meminjam buku. Untung saja ia dan Manik duduk di kelas yang berbeda sehingga jadual pelajaran mereka berbeda.
Suatu ketika Ayah pulang bekerja sambil menenteng sesuatu. Boma merasa sangat senang saat ia mengetahui ayah telah membeli buku bahasa indonesia untuknya. Ia bersyukur pada Allah yang telah menolong ayah hingga mampu membelikan sesuatau yang sangat dibutuhkannya.
Ia pikir masalahnya telah berakhir, namun ketika Pak April mengumumkan bahwa buku matematika baru mesti di beli, Boma merasa lemas.
"Ayah belum bisa membelikan buku yang baru sekarang Nak. Tunggulah bulan depan ya." Kata Ayah saat Boma mengutarakan perinah Pak April. Meskipun sudah menduganya, tetap saja Boma merasa sedih.
"Tapi ayah kata Pak April semua murid harus segera memilikinya. Karena nanti akan banyak tugas dan PR." Lanjut Boma.
"Pinjamlah dulu pada temanmu ya Nak." Jawab Ayah. Dibelainya kepala Boma. Boma tertunduk. I tak tega menatap wajah tua ayahnya. Wajah yang selalu menampakkan rasa bersalah yang dalam, sebab tak mampu memenuhi kebutuhan sekolah Boma dengan baik.
Boma memang harus sabar menunggu. Ia tak mungkin memaksa ayahnya untuk membelikannya buku matematika sekarang juga. Jangankan buku matematika untuk membeli sebatang pensilpun, Boma tak boleh terburu-buru.. Ayah Boma adalah seorang penarik becak. Penghasilannya tidak menentu. Bila mendapat penghasilan yang lebih, ayah mengutamakan membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya bagi Boma dan kedua adiknya.
Boma merasa sangat malu. Ini adalah kali ketiga ia meminjam buku matematika milik Manik. Hari ini pelajaran pertama di kelas 3A adalah matematika. Itulah sebabnya Boma sengaja datang lebih awal agar bisa menemui Manik di gerbang sekolah.
Boma  berdiri di samping pintu gerbang sekolah. Pagi ini tempat itu sangat ramai karena murid-murid mulai berdatangan. Boma membuka matanya lebar-lebar. Ia tak ingin matanya melewatkan kedatangan Manik. Manik biasanya diantar oleh ayahnya. Setiap ada mobil yang berhenti di jalan depan pintu gerbang Boma tak melewatkannya. Boma masih ingat mobil Manik berwarna putih bersih. Boma tak hapal jenis mobilnya. Yang ia tahu bentuknya mirip taksi. Tapi tentu saja bukan taksi lho. Boma hampir terkecoh. Ternyata banyak mobil orang tua murid yang mirip mirip.
"Yang ini insya allah benar." Harap Boma saat sebuah mobil 'taksi' berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Seorang anak laki-laki yang sangat dikenal Boma turun dari mobil.
"Manik !" Boma melambai. Ia berlari mendekati Boma. Meski waktu masuk sekolah masih 30 menit lagi. Boma ingin secepatnya meminjam buku itu. Ia tak ingin seperti hari Kamis yang lalu. Ia datang ke kelas Manik hanya beberapa saat sebelum pelajaran di mulai. Akibatnya Boma terlambat masuk kelasnya dan ditegur pak April. Raut wajah Manik tak seperti biasanya.  Di bibirnya tak ada senyum sedikitpun. Kelihatannya ia tak  tak begitu berharap bertemu  Boma. Sayang sekali manik tak memperhatikannya.
"Manik, pinjam buku Matnya ya. Nanti aku kembalikan." Ujar Boma. Manik diam. Ia memegang erat tasnya. Melihat hal itu Boma mengeraskan suaranya. Ia mengira Manik tak mendengarnya karena suasana di sekitar mereka yang bising.
"Emh…gimana ya Bom. Nanti aku ada test. Aku ingin belajar dulu sebentar sebelum pelajaran dimulai."
Boma terperangah. Ia sama sekali tak menduga Boma akan menolak permintaannya kali ini. Boma jadi salah tingkah. "Oh eh jadi begitu ya…"
"Iya maaf ya."
Cuma sebentar saja Please…! Boma sangat ingin mengatakannya tapi kata-kata itu cuma tertahan di mulutnya. Manik merasa bersalah. Ia buru-buru menawarkan sesuatu pada Boma. "Bagaimana kalau kita belajar bersama di rumahku." Katanya. Tapi buru-buru ia menambahi lagi. "Oh iya iya aku lupa rumah kita berjauhan jadi seperti agak sulit ya."
Boma mengangguk. Ide untuk belajar bersama sebenarnya sudah ada sejak lama. Tapi rumahnya sangat jauh dari rumah Manik.
"Baiklah manik, sekarang aku kembali kekelas dulu ya." Boma meninggalkan manik dengan lesu. Baru beberapa langkah Manik segera menyusulnya.
"Boma aku ingat sesuatu. Aku tahu sebuah toko buku yang sangat murah."
"Dimana ?" tanya Boma penuh harap.
"Di jalan Martadinata. Letaknya di ujung jalan. Kau datanglah kesana. Barangkali saja kau bisa mendapat potongan harga yang cukup besar."
Potongan harga yang besar ? Apakah dengan potongan yang besar itu ayah jadi sanggup membelinya. Manik tak begitu yakin.
"Boma, cobalah saranku. Menurutku kau harus segera punya buku matematika. Bukannya aku tak mau meminjamkannya lagi tapi…kau tidak akan bisa belajar jika tak punya buku." Suara Manik terdengar tulus. Dan kata-kata Manik itu diam-diam Boma membenarkannya.
Toko buku Murah dan Bermutu. Papan nama itu terpampang di sebuah toko. Boma langsung yakin bahwa tempat itulah yang di maksud oleh Manik. Ciri-cirinya persis seperti yang disebutkan Manik. Tokonya tidak terlalu besar. Menghadap ke arah timur. Di samping toko ada pohon yang cukup besar. Dan penjaga toko sekaligus pemiliknya adalah seorang laki-laki bertubuh gemuk.
Boma masuk ke dalam toko. Beberapa orang tampak membuka-buka buku yang dipajang di rak-rak toko. Boma langsung mencari rak tempat memajang buku pelajaran anak SD. Ia belum menemukannya juga setelah beberapa lama. Ia malah bertemu dengan pemilik toko yang dimaksud Manik. Kalau tak melihat sendiri Boma tak akan percaya dengan cerita Manik. Manik bilang kalau disamping bapak gengut pemilik toko selalu ada sekotak kue yang memiliki lubang di tengahnya. Kue bolong ?Apalagi kalau bukan kue Donat.
Boma tersenyum saat Bapak gendut itu sambil membaca buku, memasukkan sebuah Donat ke dalam mulutnya. Kue itu sekejap saja sudah menghuni mulutnya. Belum selesai mulutnya mengunyah sebuah donat yang lain segera menyusul.
"Hemm..bapak itu pasti nggak baca bismillah." Gumam Boma. 
Boma rupanya tak memperhatikan dengan teliti. Ternyata rak yang dicarinya berada dekat pintu masuk.
"Alhamdulillah. Ini dia bukunya." Boma sangat senang telah menemukannya. Ia tak sabar membalik buku itu untuk melihat label harga. Senyum Bona seketika pudar kala melihat harga buku itu masih terlalu mahal baginya.
"Dua puluh satu ribu rupiah." Gumamnya lesu. Ia hampir saja menyalahkan Manik yang menurutnya telah berbohong. Tapi Boma segera ingat saat teman-teman membicarakan harga buku itu. Lisa, Toni , Diah Susan dan teman-teman lainnya rata-rata membeli buku itu seharga dua puluh empat ribu rupiah.
"eang lebih murah sih, tapi tetap saja terlalu mahal untukku." Desahnya.
Boma tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.  Buku itu masih digenggamnya. Ia merasa enggan menaruhnya kembali ke dalam rak. Boma masih berdiri di depan rak buku. Pandangannya tertuju pada seorang anak seusianya yang sejak ia masuk pertama kali hingga sekarang masih berada di tempat yang sama. Anak itu tampak sedang membaca komik. Dari sikapnya yang serius, dan jari-jarinya yang terus membolak-bolak halaman buku, Boma  menduga anak itu akan membaca komik itu sampai selesai.
"Hey kenapa tidak !. "Boma tiba-tiba mendapat ide.
"Sebelum ayah mampu membelikanku buku matematika, aku akan datang kesini untuk membaca dan belajar. Yah benar !"  Mata Boma berbinar-binar. Dilihatnya anak pembaca komik itu. Anak itu hampir menamatkan halaman terakhir.
Keesokan harinya, mulailah Boma menjalankan rencananya. Saat pulang sekolah ia menyempatkan diri datang ke toko buku Murah dan Bermutu. Jarak antara sekolah dan toko itu sebenarnya cukup jauh, tapi demi sebuah buku matematika ia rela menempuh jarak yang jauh meski hanya  dengan berjalan kaki. Meski sangat melelahkan, Boma tak mau menyerah. Ia punya cara supaya tetap semangat.
"Ayo Boma bertahanlah. Kita  segera sampai !
"Ayo Boma bertahanlah. Kita  baca buku matematika."
"Ayo Boma bertahanlah. Daripada kena marah Pak April nanti."
Sambil berjalan, Boma terus bergumam.
Beberapa hari  rencana Boma berjalan lancar. Pengunjung toko buku itu cukup ramai. Boma yang selalu membaca buku sambil jongkok, mesti beberapa kali bergeser bila ada pengunjung yang lewat di dekatnya. Boma tak mau menganggu pengunjung lainnya, apalagi ia cuma numpang membaca di situ. Letak meja kasir agak masuk ke dalam. Pak Gendut tak bisa melihat aksi Boma dari meja kasir, demikian pula sebaliknya.  Sambil jongkok, Boma tak cuma membaca ia  juga Boma mencatat soal-soal PR. Di tengah mencatat ia suka menghetakkan kakinya yang pegal dan kesemutan, akibat jongkok terlalu lama.
Saat siang di hari Rabu. Pulang sekolah Boma langsung menuju ke toko buku Murah dan bermutu. Hari ini Pak April memberi cukup banyak PR. PRnya bisa dilihat di halaman 30 buku matematika.
Boma berbaur dengan pengunjung lainnya. Ia meletakkan tasnya di rak-rak dekat pintu masuk.Meski tak ada aturan meletakkan tas seperti di toko buku lainnya, Boma meletakkan tas di rak dekat pintu. Rak itu tak ada yang menjaga. Boma merasa heran kenapa Pak Gendut tak mempunyai kartawan. Kelihatannya Pak Gendut megerjakan semua urusan sendiri.
Boma mengambil buku matematika dari rak yang biasa. Ia hendak jongkok saat seorang  menyapa. Anak pembaca komik.
"PSSsst…pssst." Anak itu menyapa Boma dengan mendesis. Sepertinya ia tak ingin orang lain mendengarnya.
"Hai." Jawab Boma.
"Aku mau baca komik. Kamu ?"
"Nih !" Boma menunjukkan buku matematika. "Aku mau mencatat, ada PR."
"Hati-hati jangan sampai ketahuan mencatat. Nanti dimarahi yang punya toko ini." Anak itu mengatakan sambil berbisik. Boma mengernyit.
"Memangnya tidak boleh ya ?" tanya Boma bingung.
"Eh tentu saja. Kamu harus beli. Ini kan toko buku bukan perpustakaan. Sudah ya aku pulang dulu."
"Sudah selesai ?"
"Sudah, aku sudah tamat I komik tadi. Minggu depan aku kesini lagi. Sampai ketemu." Anak pembaca komik pergi. Tapi kata-katanya masih terngiang di telinga Boma. Ia jadi ragu-ragu membuka buku itu. Tapi ia harus mencatat soal halaman 30.
"Hai apa yang kau lakukan !" suara itu menggelegar. Boma terkejut, pensil yang dipegangnya terlempar hingga ke dekat kaki Laki-laki gemuk pemilik toko yang telah berdiri di dekatnya. Boma panik, ia merasa sangat bersalah. Maka ketika bapak gendut itu membawanya ke meja kasir Boma menurut saja. Boma mematung di kursi depan kasir. Tak berani sekalipun  mendongakkan kepalanya.
"Tak boleh mencatat di sini. Kau tahu kan."
"Maafkan saya Pak." Suara Boma bergetar. Sambil menunduk sepatunya menggosok-gosok lantai yang berdebu.
Pemilik toko mendengus. "Apa yang kamu catat ?" suaranya sedikit melunak, membuat Boma berani mendongak sedikit." Buku matematika Pak. Hari ini saya punta PR. Saya terpaksa mencatat buku ini Pak karena saya tak punya buku matematika di rumah."
"baiklah, untuk kali ini saya maafkan. Tapi tak boleh diulang lagi. Sekarang kembalikan buku ini ketempatnya. Lalu kau cepat pulang." Boma tak mungkin membantah kata-kata laki-laki itu. Laki-laki itu sudah cukup baik mau memaafkannya. Boma merasa sayang meletakkan buku itu ke tempatnya. Apalagi ia belum selesai mencatat halaman 30. Tiba-tiba Boma kembali ke meja kasir. Laki-laki itu sangat terkejut melihat hal itu.
"Pak saya sangat membutuhkan buku ini. Tapi saya tak punya unag untuk membelinya."
"Kalau begitu kau harus mengembalikannya." Kata laki-laki itu. Boma tak beranjak dari tempatnya, saat ia mengatakan sesuatu yang pemilik toko itu makin terkejut.
"Bolehkah saya membantu bapak di toko ini. ?"
"Tidak, aku tidak memerlukan bantuan."
"Siapa bilang Pak. Lihatlah lantai toko ini kotor sekali. Buku-bukunya juga banyak yang berdebu. Saya akan menyapu lantai dan membersihkan buku-buku di sini asalkan saya boleh membaca buku matematika di sini." Kata Boma makin berani.
"Wah kau ini keras kepala. Tapi ..baiklah. Saya akan memberimu uang 3000 rupaih setiap kali memebersihkan tempat ini. Jadi…."
"Setelah tujuh hari aku bisa membeli buku ini ya Pak !" pekik Boma.
"Hmm…kau ternyata cukup pintar."
 Boma merasa sangat senang.  Ia sangat berterima kasih pada pemilik toko yang ternyata sangat baik hati.
Setiap pulang sekolah, Boma pergi ke toko Buku Murah dan bermutu. Ia melakukan pekerjaannya  dengan penuh semangat. Boma menyapu setiap jengkal lantai dengan bersih, melap buku-buku yang berdebu. Pekerjaan Boma membuat toko Murah dan bermutu menjadi lebih bersih dan indah. Ia tak ingin mengecewakan bapak yang baik hati itu. Pemilik toko yang baik itu bernama Pak Hamid. Pak Hamid ternyata seorang yang sangat taat beribadah. Setiap saat sholat dhuhur, beliau menutup tokonya lalu mengajak Boma sholat berjamaah di langgar seberang jalan. Boma merasa sangat senang. Setiap selesai sholat ia selalu berdoa dan bersyukur pada Allah.
Siang itu setelah mengganti baju seragamnya, Boma menyapu lantai dengan hati-hati. Ia tak ingin debu-debu terbang hingga membuat pembeli terbatuk-batuk. Tak terasa ia sudah menyelesaikan tugasnya hari itu, Tangannya gemetar saat Pak hamid mengulurkan uang tiga ribu tupiah padanya.
"Ini hari kelima Boma. Berarti dua hari lagi kau bisa membawa pulang buku matematika itu. "
"Tentu Pak."
"Simpan baik-baik jangan buat jajan ya."
"Insya Allah Pak."
"Sekarang kau boleh Pulang. Istirahatlah. Kau tetu lelah sekali." Seperti biasa Pak Hamid membekali Boma dengan sebungkus nasi dan segelas air mineral. Kebaikan Pak Hamid membuat Boma terharu.
Boma berjalan pulang dengan riang. Ia tak sabar ingin segera tiba di rumah dan memasukkan uang tiga ribu rupiah itu ke dalam celengan kaleng susu yang dibuatnya bersama ayah.
Lalu lintas sangat ramai saat itu. Suasana terasa tidak nyaman, apalagi matahari bersinar dengan  garang. Boma berteduh di bawah pohon di pinggir jalan. Ia ingin sejenak melepas lelah. Seorang ibu tua membawa keranjang plastik. Ibu itu menghampiri Boma.
"Beli kue donat Nak ? Murah hanya lima raus rupiah saja." Ibu tua membuka tutup keranjang. Bertumpuk-tumpuk kue donat tertata rapi di keranjang. Boma menggeleng, meski ia punya uang untuk membeli donat itu, ia tak ingin membelanjakannya selain untuk membeli buku matematika.
"Maaf Bu, masih kenyang." Jawab Boma memberi alasan. Ibu tua itu tak memaksa, meski jelas sekali wajahnya kecewa. Ibu itu beranjak meninggalkan Boma. Dibawanya kembali keranjang itu. Tiba-tiba Boma merasa iba.
"Bu, saya beli dua." Boma mengeluarkan uang seribu rupiah dari dalam saku bajunya. "Oh alhamdulillah Terima kasih ya Nak." Ibu itu segra memberi boma dua buah donatnya yang sudah tidak hangat lagi Sepeninggalk ibu itu Boma memandangi dua buah kue donat di kantuk plastik. Dengan membeli kue itu berarti ia tak bisa lagi membeli buku matematika dalam tujuh hari.
"Aku harus bekerja satu hari lagi pada Pak Hamid." Gumam Boma.
Boma hendak meneruskan perjalanan. Tiba-tiba ia kembali teringat sesuatu,
"Hei bukankah Pak hamid penggemar kue Donat. Biar kuberikan saja kue ini sebagai tanda terima kasihku padanya." Pikir Boma. "Tapi bagaimana kalau Pak Hamid marah karena aku membelanjakan uang ini untuk membeli donat ?" Ah biarlah, aku rela kok bekerja satu hari lagi pada pak hamid."
Tekad Boma sudah bulat ia berlari kembali ke toko. Toko sedang sepi. Melihat kedatangan Boma tentu saja Pak Hamid terkejut.
"Boma kenapa kembali lagi kemari ?"
"Eh anu Pak, Saya ingin memberikan kue ini pada bapak." Boma mengulurkan kantung plastik ditangannya. Pak Hamid sangat terkejut mengetahui isinya adalah dua buah kue donat.
"Bagaimana kau mendapat kue ini ?"
"Saya membelinya pak…dari uang yang bapak berikan pada saya."
"Kenapa kau membelinya ?"
"Saya kasihan pada ibu tua yang menjual kue itu Pak.
"Tapi dengan begitu kau tidak bisa membawa buku matematika itu dua hari lagi."
"Ah tidak apa pak. Saya rela bekerja sehari lagi pada Bapak. Bapak mau kan menerima kue ini. Saya tahu bapak senang kue donat."
Pak Hamid tersipu.
Boma beranjak meninggalkan toko Pak Hamid. Ketika sampai di pintu keluar, tiba-tiba Pak hamid memanggilnya.
"Nak, bawalah buku matematika itu pulang sekarang."
Boma sangat terkejut. "Tapi Pak…uang saya belum cukup untuk membelinya."
"Sudahlah,  anggap saja aku memberikannya padamu. Seperti kau memberi kue ini padaku. "
"Lalu uang pemberian bapak ?"
"Simpan saja, barangkali, besok atau lusa gurumu di sekolah menyuruhmu membeli buku baru lagi. Tapi kau harus membelinya di sini lho. He…he…"
Pak hamid dan Boma tertawa bersama. Dengan langkah kilat Boma mengambil buku matematika dari rak.
Lalu lintas masih ramai. Mataharipun masih bersinar dengan garang. Tapi Boma tak ingin berteduh lagi di bawah pohon. Ia ingin cepat tiba di rumah dan menunjukkan buku matematika yang baru didapatkannya pada ayah tercinta.