Sunday, November 13, 2011

Gempa dan Jaket Tiyok

         Penampilan Tiyok oke sekali pagi ini. Ia memakai jaket baru yang sangat keren.  Tiyok berangkat sekolah dengan riang. Jaket barunya itu membuatnya cara berjalannya beda. Tiyok ingin memamerkan jaket barunya pada teman-temannya.
Tiyok berangkat naik angkot. Di angkot seorang bapak  membaca koran. Headline pagi itu  adalah  gempa di Sumatra Barat. Yah akhir-akhir ini memang sering terjadi gempa di beberapa wilayah Indonesia.
 Tiyok tiba di sekolah.
“Wah, jaketmu keren amat  Yok, ” puji  Andi
“Beli di mana Yok ?” kata  Wily.
  Tiyok senyum-senyum saja di kulum. Uh, rahasialah ! 
Bel berbunyi. Terpaksa Tiyok melepas jaketnya, Tidak boleh memakai jaket di dalam kelas. Bu Ninda, masuk kelas. Beliau bersama dua lelaki. Seorang bertopi, seorang lagi berkacamata. Yang bertopi, Pak Arya. Yang berkacamata namanya Pak Haris. Anak-anak  pun berbisik-bisik. 
Bu Ninda memperkenalkan siapa itu Pak Arya dan Pak Haris. Mendengarnya anak-anak terdiam. Kelas sunyi saat Pak Arya berbicara.. Anak-anak tegang.  Tak ada yang ingin melewatkan perkataan Pak Arya  sedikitpun.   Tiba-tiba….
“GEMPAAA !”Pak Arya berteriak panik. Tubuhnya goyang-goyang. Anak-anak kebingungan. Wajah mereka  tegang.
 “Jangan  panik, keluar kelas bergantian!” Bu  Ninda berteriak pula.  Tapi anak-anak  tak bisa tenang. Berlari ke pintu lalu berdesakan.  Tiyok pun demikian.   Tiyok berhasil keluar dari kelas. Tapi beberapa temannya masih berada di dalam kelas. Terdengar teriakan dari dalam kelas
“Awas  atap mau runtuh. Berlindung di bawah meja !” teriak Pak Arya. Anak-anak di dalam ruangan segera berlindung di bawah meja. Mereka melindungi kepala mereka dengan tas, sebagaimana yang diperintahkan oleh Pak Arya.
Sementara itu Tiyok makin jauh berlari meninggalkan kelas. Dia bersama Pak Haris dan  beberapa temannya.. “Perhatikan jalan. Hindari tanah merekah, jauhi tiang listrik dan gedung tinggi…, teriak Pak Haris parau.
Tiyok berlari kencang. Hatinya berdebar-debar. Namun mendadak ia ingat sesuatu.
“Jaketku jaketku,  Pak,” teriak Tiyok panik. Ia balik kanan untuk kembali ke kelas.
“Tidak boleh kembali  ke sana. Berbahaya ! Keselamatan jauh lebih penting dari sebuah jaket !” tahan Pak Haris
Tiyok menangis.  Ia bergabung dengan teman-temannya di lapangan sekolah sambil mengaduh,… Jaketku…jaketku ! Tapi…hey, ada apa ini ? Tiyok heran.  Semua anak memandangnya geli.
 Sedetik kemudian, “Hua..ha…ha !” anak-anak menertawakan Tiyok.
“Tiyok…ini kan cuma latihan gempaaa…!” seru Wily mengagetkan Tiyok. Wajah Tiyok merah padam. 

Anak-anak berkumpul di lapangan. Pak Arya dan Pak Haris berada di antara guru dan kepala sekolah.
“Anak-anak, Bapak puas dengan kegiatan kita kali ini. Negeri kita berada di kawasan rawan gempa. Kita tak boleh menjadi takut karenanya. Kita hanya perlu waspada, dan sering melakukan kegiatan simulasi gempa seperti ini, ” kata kepala sekolah. Kepala sekolah lalu berterima kasih kepada Pak Arya dan Pak Haris.. Mereka adalah petugas dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Kehadiran mereka di sekolah Tiyok adalah untuk melatih anak-anak menghadapi gempa.
Sebelum acara berakhir petugas BMKG itu mengingatkan kembali beberapa tip menghadapi gempa. Antara lain : hindari tempat beratap. Sebisa mungkin keluar dari gedung. Jangan kembali untuk mengambil tas atau lainnya. Bila tak sempat keluar, berlindung di bawah meja, atau merunduk di samping dinding. Jika di berada di luar perhatikan langkah kaki. Hindari rekahan tanah, tiang listrik dan gedung tinggi.
Anak-anak kembali ke kelas. Tiyok jadi bahan ledekan karena ulahnya tadi. Tiyok malu sekali. Yah, mau bagaimana lagi. Simulasi gempa tadi menegangkan sekali. Tiyok sampai lupa kalau itu cuma latihan. @@@

Wednesday, October 12, 2011

Negeri Kira-Kira

           Negeri Kira-kira adalah negeri impian Olan. Seperti namanya segala bentuk pengukuran dan penghitungan tak berlaku di negeri itu. Semua kegiatan yang memerlukan pengukuran dan penghitungan akan di kira-kira saja. Olan sangat ingin tinggal di sana. Ia punya satu alasan yang kuat, yaitu : ia benci matematika.
Olan tersenyum lebar. Ia telah tiba di negeri impiannya. Dengan ransel di punggung, Olan kini berhadapan dengan pintu gerbang Negeri Kira-kira yang berbentuk dua pilar. Pintu gerbang itu indah, berlapiskan batu pualam dan granit. Tapi Olala, Olan geli. Ia baru menyadari jika gerbang itu miring. Pilar  kanan lebih panjang dari pilar kiri.
Olan memasuki wilayah Negeri Kira-kira. Baru beberapa langkah ia kembali terkikik geli. Jalan-jalan di negeri itu sesak dengan mobil dan orang lalu-lalang. Yang menggelikan semua mobil bentuknya tak simetris. Pintu kanan lebih kecil dari pintu kiri. Roda kanan lebih besar dari roda kiri. Tapi meski demikian, mobil-mobil itu bisa berjalan. Baju orang-orang mencang-mencong. Lengan kanan lebih pendek dari lengan kiri. Rumah-rumah di sepanjang jalanpun tampak unik. Tonggaknya tidak sama panjang. Pintu dan daun jendelanya    tidak tepat persegi panjang.
  “Tentu saja dik. Negeri kami tak mengenal angka. Segala sesuatu disini tak perlu diukur dan dihitung. Semua di kira-kira saja. Tapi lihatlah, semua baik-baik saja kan, ha..ha..ha..!” jawab seorang pemuda saat Olan bertanya kenapa semua benda di negeri Kira-kira tampak aneh.
 “Ya semua baik-baik saja dan malah kelihatan seru!” Olan setuju sekali. Olan pun sangat bahagia. Ia senang karena di negeri Kira-kira ia tak akan bertemu angka-angka dan matematika. “Selamat tinggal matematika, selamat tinggal pusing kepala,”teriaknya senang.
Olan kini merasa lapar. Ia melihat sebuah kedai yang ramai di sisi jalan. Sebelum datang ke negeri itu, ia telah menyiapkan mata uang negeri Kira-kira. Mata uangnya cuma ada satu jenis. Yaitu uang logam warna tembaga.
“Tuangkan uang logam sebanyak segenggaman tanganku ini. Itulah harganya !” jawab ibu pemilik kedai saat Olan bertanya harga sebutir telur rebus.  
“Begitu saja ?” Olan heran. Ibu itu mengangguk. “Yihuyy ini hebat sekali,” seru Olan gembira. Betapa tidak ia tak perlu pusing-pusing dengan uang kembalian. Sungguh berbeda dengan negeri tempat tinggalnya dulu. Sering sekali Olan kena marah ayahnya karena salah menghitung uang kembalian. Ayah Olan punya toko kecil. Saat menjaga toko, Olan yang tak suka matematika, sering keliru menghitung uang kembalian. “Olan, uang kembaliannya cuma 1500, bukan 2500. Aduh, rugi kita kalau terus begini !” omel ayah beberapa hari lalu, saat Olan lagi-lagi memberi kembalian terlalu banyak pada seorang pembeli di tokonya.
“Huh, aku benci matematika !” gerutu Olan.
Hari menjelang sore. Olan mencari penginapan. Ia bertanya pada orang-orang di jalan. Mereka mengatakan ada penginapan yang bagus di jalan Baga. Olan pun sampai di jalan Baga. Ia tak mengira jika jalan Baga sangat besar dan panjang. Olan kebingungan. Ia tak jua menemukan penginapan tersebut.
“Jalan Baga nomer berapa ?” tanya Olan pada seorang pemandu pariwisata. Tapi orang itu  bingung. Olala, Olan lupa jika negeri Kira-Kira tak mengenal angka.
“Letaknya di sebelah rumah bercat kuning cerah, dengan sebuah pohon cemara angin didepannya dan tong sampah warna hijau muda garis-garis putih,” jawab orang itu. Olan bergegas mencarinya. Tapi ternyata sangat tidak mudah. Ada banyak rumah bercat kuning dengan pohon cemara angin, dan tong sampah hijau muda di depannya Sekujur badan Olan sampai berkeringat untuk  menemukan penginapan itu.
Esoknya Olan jalan-jalan di negeri Kira-kira. Ia mengunjungi pasar yang ramai. Olan membeli sebuah mainan dari kayu. Penjualnya seorang bapak dan anak perempuannya. “Harganya dua genggaman tanganku !” jawab bapak penjual mainan.  “Cring !” Olan menuangkan uang logam ke dua genggaman tangan bapak itu. Tangannya besar, Olan memerlukan banyak uang logam untuk memenuhinya. Sebelum Olan pergi, datang lagi seorang bocah lelaki. Bocah itu membeli mainan yang sama. Tapi kali ini yang melayani adalah si anak perempuan.
“Harganya dua genggaman tanganku,.” jawab anak perempuan itu sambil mengulurkan tangannya. “Cring !” uang logam memenuhi kedua tangan itu. Tapi tentu saja jumlahnya tidak terlalu banyak, karena tangan anak perempuan  itu kecil mungil.
“Hey, ini tidak adil!” protes Olan. “Aku dan dia membeli mainan yang sama, tapi aku membayar lebih banyak uang logam ! “
Protes Olan sia-sia. Dia pun pergi dengan bersungut-sungut. Olan tertarik pada seorang penjual kain di pasar.  Ia hendak membeli tiga meter kain untuk ibunya.
“Segini, segini, lalu segini lagi !” Olan merentangkan tangannya tiga kali untuk menggambarkan kain sepanjang tiga meter. “Oh tunggu, tambahkan lagi segini !” Olan tak yakin. Ia merentangkan lagi sebelah tangannya. “Duh merepotkan sekali,” gumam Olan, saat penjual kain menempelkan kain pada tangannya.
Pasar makin ramai. Orang berjalan berdesak-desakan. Tiba-tiba ada yang menarik tas Olan. Olan cepat menoleh. Seorang lelaki jangkung membawa kabur ranselnya. “Tolong…copet !” teriak Olan. Tapi terlambat, pencopet itu sudah menghilang bersama ransel Olan yang berisi banyak uang logam. Orang-orang mengerumuni Olan. Mereka menanyainya tentang ciri-ciri pencopet itu.
“Tingginya hampir 2 meter, memakai tiga gelang kayu warna hitam.” jawab Olan membuat para penduduk Negeri Kira-kira melongo. “Maksudku tingginya seperti batang pohon itu, oh bukan kurasa setinggi pintu rumah itu.” Olan menunjuk pohon di sisi pasar dan sebuah rumah di dalam pasar dengan wajah kebingungan. Olan kehilangan kata-kata saat menjelaskan tentang tiga gelang itu.
Olan pun melaporkan kejadian itu ke kantor polisi terdekat. Setibanya di kantor polisi.. “Sebanyak apa  uangmu yang hilang?” tanya Pak Polisi.
“Sebanyak ini !”kedua tangan Olan menggambarkan tumpukan uang.
“Segini ?” Pak Polisi menirukan gerakan tangan Olan.
 “Tidak Pak Polisi ! lebih banyak lagi !”
“Sebanyak ini ?” tangan Pak Polisi kembali menggambarkan tumpukan uang. Olan menggeleng. “Tidak Pak, itu terlalu banyak !” sahutnya. Olan pun mulai kesal.  Berjam-jam di kantor Polisi, mereka cuma berdebat soal banyaknya uang yang diambil pencopet. Olan  keluar dari kantor polisi dengan wajah cemberut. Ia kesal sekali. Ia pun memutuskan untuk pulang saja ke negerinya. Angka dan matematika memang sering bikin pusing. Tapi ternyata,  lebih pusing lagi kalau tanpa keduanya.  @@@